Nasional

Ragam Pandangan soal UU KIA: Hak Cuti Melahirkan 6 Bulan dan Dampaknya

Rab, 12 Juni 2024 | 18:00 WIB

Ragam Pandangan soal UU KIA: Hak Cuti Melahirkan 6 Bulan dan Dampaknya

Ilustrasi ibu dan anak. (Foto: Freepik)

Jakarta, NU Online

Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan yang telah disahkan di rapat paripurna DPR RI mengatur sejumlah hal. Salah satunya hak cuti melahirkan selama 6 bulan. Beragam tanggapan disampaikan masyarakat terutama kalangan ibu.


Anty Husnawati (30) ibu dari satu anak yang juga bekerja di Kementerian Agama mengatakan aturan cuti 3 bulan sudah cukup. Namun, menurut dia, yang dikhawatirkan yakni dampak lowongan kerja bagi perempuan. 


“Untuk aturan yang sekarang sebenarnya tidak jauh dengan sebelumnya, 6 bulan itu karena ada indikasi medis. Yang merugikan terkadang perusahaan semena-mena cut perempuan saat cuti melahirkan. Kadang perusahaan juga mau hire perempuan,” terang Anty kepada NU Online, Rabu (12/6/2024).


Anty berharap kebijakan UU KIA segera disosialisasikan kepada perusahaan-perusahaan agar kebijakan perusahaan sejalan dengan UU tersebut.


“Seharusnya aturan itu juga sejalan dengan aturan untuk perusahaan. Misalnya perusahaan tidak boleh memutus kerja yang cuti hamil dan melahirkan,” ujar Anty.


Anggota Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah mengatakan, Undang-Undang KIA cenderung meneguhkan perspektif pembakuan peran domestik perempuan.


"UU ini hanya menyebutkan hak atas pendidikan, pengembangan wawasan pengetahuan, dan keterampilan tentang perawatan pengasuhan, pemberian makan, dan tumbuh kembang anak sebagai hak ibu, dan tidak menjadi hak ayah," kata Alimatul dalam keterangannya di Jakarta.


Kecenderungan pembakuan peran domestik ini juga tampak pada penambahan hak cuti pengasuhan anak yang lebih besar bagi perempuan dibandingkan dengan laki-laki.


UU KIA mengatur cuti perempuan pekerja karena hamil dan melahirkan hingga 6 bulan, dari 3 bulan yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Sementara cuti untuk suami/ayah dari dua hari menjadi mungkin ditambah tiga hari atau sesuai kesepakatan.


Kemudian cuti perempuan dilengkapi dengan skema penggajian, cuti bagi laki-laki menyisakan pertanyaan skema penggajiannya, karena dalam aturan UU Ketenagakerjaan hanya disebutkan dua hari.


"Perlu ada reorientasi dalam pelaksanaan UU KIA ini agar pelibatan aktif ayah untuk mendorong kesetaraan gender dalam peran orang tua betul-betul terwujud," ujar Alimatul.


Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) menjamin seorang ibu yang bekerja dan sedang melaksanakan cuti melahirkan tidak bisa diberhentikan dari pekerjaannya. Hal itu tercantum dalam Pasal 5 Ayat (1) UU KIA yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (4/6/2024). 


"Setiap Ibu yang melaksanakan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap memperoleh haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan," demikian isi Pasal 5 Ayat (1) UU KIA. 


Beleid itu juga mengatur tentang kewajiban pemerintah memberikan pendampingan hukum bagi ibu yang tidak mendapatkan haknya yaitu aturan upah atau gaji oleh perusahaan tempat bekerja selama cuti melahirkan.