Nasional

Pusat Kajian Islam Nusantara UNUSIA Bahas Tradisi dan Peradaban Tionghoa

NU Online  ·  Sabtu, 24 Februari 2018 | 08:30 WIB

Jakarta, NU Online
Pusat Kajian Islam Nusantara Pascasarjana UNUSIA Jakarta kembali menggelar kegiatan tadarus rutinan. Pada tadarus edisi ke-9 ini mengetengahkan tema Tionghoa dan Islam Nusantara: Interaksi dan Sumbangsih Peradaban dengan Munawir Aziz, peneliti Tionghoa Nusantara sekaligus penulis buku Gus Dur dan Jaringan Tionghoa ini sebagai narasumbernya.

Sebagai peneliti yang menaruh perhatian cukup lama tentang topik Tionghoa, Munawir menyuguhkan hasil penelitiannya yang cukup detail mengenai sejarah awal perjumpaan komunitas Tionghoa dengan masyarakat Nusantara.

Menurutnya, komunitas Tionghoa yang bermukim di kawasan Nusantara sejak abad ke 13. Mereka adalah para utusan militer dari Kubulai Khan dari Dinasti Yuan. Jauh sebelum itu, pendeta I-Tsing, pada tahun 671, berangkat dari Canton ke Nalanda melalui Sriwijaya.

Sedangkan untuk ekspedisi terbesar dalam sejarah Tionghoa bahkan dunia, Ceng Ho bisa dikatakan sebagai penanda penting interaksi Tionghoa dan Islam di kawasan Nusantara.

“Contoh hubungan yang lebih dekat lagi antara Tionghoa dan Nusantara adalah melalui Tan Kim Han (Syekh Abdul Qadir as-Shini) yang konon merupakan leluhur Gus Dur ini, menjadi pejuang muslim melawan kerajaan Majapahit,” jelas Munawir.

Menengok lebih jauh mengenai sejarah awal dan perkembangan Islam di Tiongkok, Islam mulai menyebar di negara berpenduduk terbesar di dunia itu sejak zaman Nabi Muhammad. Tepatnya pada masa satu periode pasca kenabian.

Tiga orang sahabat Nabi diutus ke Tiongkok untuk mendakwahkan Islam. Dua orang meninggal dalam perjalanan dan hanya satu orang sahabat (Sa’ad bin Abi Waqqash) yang sampai di negara yang dijuluki sebagai negeri tirai bambu ini.

Jejak-jejak tradisi dan kebudayaan Tionghoa memberikan sumbangsih sekaligus banyak mewarnai peradaban Nusantara. Baju koko, arsitek tempat ibadah, lukisan batik, dan masih banyak lainnya. 

Meski demikian, peranan yang cukup besar dari tradisi, kebudayaan atau bahkan perlawanan mereka terhadap kaum kolonial dalam membantu masyarakat nusantara ini pada masa-masa tertentu, terutama di masa penjajahan Belanda dan era Orde Baru, masyarakat Tionghoa bukan saja terpinggirkan dan ter-eksklusi.

“Mereka dijadikan sapi perah ekonomi dan terdiskriminasi secara politik,” kata Munawir.

Beberapa peserta yang sebagian merupakan mahasiswa Pascasarjana dan para dosen ini mengemukakan beberapa pertanyaan dan tambahan informasi.

Hamdani misalnya, ia memberikan sejumlah catatan dari presentasi yang disampaikan narasumber. Salah satunya, menurut Hamdani, Kultur Tionghoa atau China bukanlah entitas tunggal. Ia terdiri dari beragam etnis dan kecenderungan budaya yang kompleks. 

“Pada titik ini, harus ada kejelasan, misalnya, apa dan siapa yang disebut sebagai tradisi Tionghoa yang memiliki pengaruh bagi kebudayaan di Nusantara?” tanya Hamdani.

Ayatullah, kandidat doktor yang sedang menggarap disertasi tentang wifik (rajah/jimat) ini mengajukan pertanyaan bagaimana kebijakan politik Tionghoa hari ini terkait dengan jumlah populasi penduduk Muslim di sana yang konon sudah mencapai puluhan atau mungkin ratusan juta? 

“Apakah para penduduk Muslim di Tiongkok memiliki “bargaining”? Bagaimana pula tarekat-tarekat yang berkembang di komunitas muslim di sana?” tanya Ayatullah.

Beberapa pertanyaan dari diskusi ini kemudian membuka ruang penelitian selanjutnya yang direkomendasikan kepada para mahasiswa untuk menjadi bahan penelitian tugas akhir mereka. (Masudi/Fathoni)