Jakarta, NU Online
Cendekiawan Muslim Indonesia, Profesor Quraish Shihab, menjelaskan bahwa tuntunan ilmu agama ibarat matahari.
“Imam Ghazali memberi contoh tuntunan agama itu bagaikan matahari. Anda tidak bisa memahaminya karena Anda bisa silau dengan cahayanya,” ungkap Profesor Quraish Shihab dikutip NU Online (2/1/2023).
Dalam tayangan “Prof Quraish Shihab: Benahi Hati, Baca Alam Raya” di kanal YouTube Gita Wirjawan, Prof Quraish Shihab menyebut bahwa untuk memahami agama yang begitu benderang bak matahari, seseorang memerlukan alat, yakni menggunakan nalar.
“Perlu alat supaya melihat, tapi tidak silau. Kita perlu kacamata hitam. Nalar itu kacamata hitam yang menjadikan kita mampu membaca tanpa silau,” ujar pengarang Tafsir Al-Misbah itu.
Ulama berdarah Bugis, Sulawesi Selatan itu juga menegaskan bahwa nalar kritis dibutuhkan dalam memahami ajaran agama.
“Nalar sangat dibutuhkan. Bahkan, sesuatu bisa berubah ketetapan hukumnya setelah ada campur tangan nalar untuk berkata bahwa sesuatu itu begitu tidak begini,” terang pendiri Pusat Studi Al-Qur’an tersebut.
Meski begitu, ulama lulusan Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir itu menyampaikan bahwa selain mampu dikritisi menggunakan nalar, terdapat pula lini ajaran agama yang tidak dapat dijangkau nalar.
“Misalnya, kita berwudhu, itu bisa dinalar. Kita shalat Dzuhur 4 rakaat, Subuh 2 rakaat, kita ubah (rakaatnya), itu di luar jangkauan nalar,” kata dia.
Agama dan beragama
Pada kesempatan itu, Prof Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa antara agama dan beragama dua entitas yang saling berkaitan namun sejatinya berbeda.
“Agama itu sudah sempurna, keberagamaan itu pelaksanaan ajaran agama. Dan ini bisa berkembang terus karena penafsiran agama berkembang,” terangnya.
Maka itu, ia meyakini akan menjadi wajar ketika mendapati perbedaan dalam pelaksanaan beragama antara individu satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut harusnya mampu disikapi secara bijak yakni dengan mengedepankan prinsip toleransi.
“Kalau kita sadar, kita bisa mentoleransi orang yang berbeda penafsiran. Kita beragama itu Tuhan beri toleransi yang luar biasa. Sehingga kita bisa berbeda,” imbuhnya.
“Tuhan tidak bertanya 5 + 5 berapa, karena jawabannya cuma 1, yakni 10. Yang Tuhan tanya, 10 itu berapa tambah berapa? Bisa 9 +1, bisa 2+8, 3+7, 6+4, atau 5+5. Itulah keberagamaan,” pungkasnya.
Pewarta: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Aiz Luthfi
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Bukan Keturunan Jadikan Mulia, Ketakwaanlah Pembedanya
2
Cetak Ahli Falak, Pesantren Tambakberas Ajarkan Santri Kitab Sullamun Nairoin hingga Praktik Lapangan
3
Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 13: Larangan Membangga-banggakan Garis Keturunan
4
Ketua LBM PBNU: Praktik Haji Ilegal Bertentangan dengan Susbtansi Syariat
5
Pernah Ngaji Sorogan ke Syekh Mahfudz At-Tarmasi, Ini Jejak Sanad Kitab Hadits Mbah Hasyim
6
Ini Wilayah yang Masuki Musim Kemarau pada Mei 2024 Menurut BMKG
Terkini
Lihat Semua