Nasional

Problematika dan Solusi Muslim Minoritas di Tengah Tuntutan Ibadah

Rab, 11 November 2020 | 16:45 WIB

Problematika dan Solusi Muslim Minoritas di Tengah Tuntutan Ibadah

Guru besar IAIN Jember, M Noor Harisudin. (Foto: Istimewa)

Jember, NU Online
Guru besar IAIN Kabupaten Jember, Jawa Timur, Prof M Noor Harisudin menceritakan terkait pengalamannya saat berkunjung ke Taiwan, salah satu negara dari sebagian banyak negara yang diisi oleh kebanyakan non-Muslim dan minim umat Muslim. Menurutnya, di Taiwan ada beberapa persoalan yang dihadapi oleh Muslim di sana, salah satunya adalah jarak tempuh masjid. Hal ini dirasakan saat umat Islam harus menjalankan ibadah shalat Jumat. 
 
"Misalnya sebagaimana dialami oleh seorang Muslim yang bekerja di peternakan babi, dikarenakan masih dalam keadaan jam kerja ditambah dengan jarak tempuh masjid yang bisa memakan waktu hingga 7 jam, menjadikan dirinya tidak bisa melakukan shalat Jumat,” ungkapnya saat menyampaikan materi di Konferensi Internasional yang bertajuk International Conference on Islamic Studies and Social Sciences (ICISSS) pada Selasa, (10/11) melalui virtual.
 
Problem tersebut menjadi tantangan tersendiri. Bahkan sangat mungkin juga terjadi di negara-negara minoritas Muslim lainnya. Ataupun dengan permasalahan yang lebih kompleks.
 
Ia menyampaikan, populasi Muslim di dunia hanya mencapai 23% yang mayoritas berada di Asia dan Afrika. Kemudian 77% lagi diisi oleh non-Muslim yang umumnya berada di USA, Australia dan Eropa. Berdasarkan data yang didapat, 5 negara yang mayoritas Muslim antara lain Indonesia (87.2%), Pakistan (96.4%), Banglades (90.4%), Mesir (94.7%) dan Turki (98.6%). Dan 5 negara yang memiliki Muslim minoritas yaitu China (4%), Belanda (5%), Amerika (0.9%), Australia (2.6%), dan Jerman (5%).
 
"Dan wilayah-wilayah Muslim minoritas di berbagai belahan dunia itu turut menghadapi berbagai persoalan," kata Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam, Mangli, Kaliwates, Jember ini.
 
Adapun solusi yang bisa menjawab terhadap sebagian persoalan tersebut, terutama dalam aspek keterbatasan akses tempat ibadah dan sejenisnya adalah melaksanakan hukum fiqh dalam perspektif darurat sebagaimana yang disebutkan Abdallah bin Mahfudh ibn Bayyah, seorang ulama ahli fiqih tradisional empat mazhab.
 
"Sementara saya menyebutkan Fiqh Al-Aqalliat adalah fiqh yang menjadi tawaran terbaik karena khusus untuk kaum Muslim minoritas dengan berdasarkan kepada hajat dan perspektif darurat karena keterbatasan-keterbatasan tertentu," jelasnya.
 
Tidak hanya itu, lanjutnya, terdapat beberapa teori dalam Fiqh Al-Aqalliat, antara lain rukhsah (dispensasi), perspektif maqashid syariah, dan perspektif urf shahih (kebiasaan baik).
 
Muslim yang berada di Taiwan menurutnya termasuk kelompok Muslim yang mendapatkan dispensasi di dalam menjalankan praktik-praktik ubudiyah. "Rukhsah merupakan solusi yang tepat di mana Muslim yang merasakan kesulitan dalam melaksanakan shalat Jumat. Dalam keadaan tersebut, ia (Muslim Taiwan) bisa mendapatkan rukhsah (dispensasi)," ungkapnya.
 
Dalam keadaan itu, Prof Kiai Harisudin juga menyarankan agar Muslim yang hidup di wilayah Muslim minoritas seperti di Taiwan, untuk selalu berdoa agar diberi pekerjaan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
 
Wakil Ketua Pengurus Wilayah Lembaga Dakwah NU Jawa Timur ini juga mendorong agar umat Islam, terutama Muslim minoritas di berbagai negara kerapkali mendialogkan nilai-nilai lokal dunia.
 
"Biar terbangun kesepahaman dan lalu muncul toleransi antarsesama. Kita harus paham mereka dan mereka juga paham kita. Yang lagi viral di Perancis hari ini, menurut saya, karena hal-hal seperti ini. Mestinya kebebasan berekspresi di Perancis harus menghormati agama-agama dan nabinya," ujarnya.
 
Di samping itu ia juga mengimbau pemerintah untuk lebih intens lagi melakukan pendampingan dan pemberdayaan warganya di luar negeri.
 
"Jangan hanya devisanya yang diharapkan, namun kewajiban pemerintah harus hadir; memberi pencerahan dan pemberdayaan Muslim Indonesia, khususnya mereka yang tinggal di negeri minoritas Muslim," pungkasnya.
 
Sekadar diketahui, Konferensi Internasional diselenggarakan Pondok Pesantren Raudhatul Ulum Munirul Islam (RUMI) Aceh Barat. 
 
Turut hadir 7 profesor dari Indonesia dan Malaysia. Dari Indonesia yaitu Prof M Noor Harisudin, Prof Abu Yazid, Prof Syahrizal Abbas, Prof Eka Srimulyani. Sedangkan dari Malaysia Prof Kamarul Shukri, Prof Faridah Ibrahim dan Prof Norizan Abdul Ghani.
 
Kontributor: Izzah Qotrun Nada
Editor: Syamsul Arifin