Jakarta, NU OnlineÂ
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menganggap kampanye politik praktis di masjid dan tempat pengajian dapat menurunkan nilai agama dan menimbulkan perpecahan antarwarga. Hal tersebut karena dipastikan terjadi perbedaan pilihan politik.Â
"Kalau kemudian mimbar keagamaan itu dijadikan sarana untuk mengkampanyekan politik praktis, maka akan menimbulkan perpecahan dan mendegradasi nilai agama itu sendiri," kata Ketua PBNU, H Robikin Emhas di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Senin (7/5).
Menurut Robikin, agama seharusnya menjadi sumber inspirasi dalam berpolitik agar bermoral. Bukan sebaliknya, yakni agama dijadikan alat politik.Â
Dikatakan Robikin, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) juga melarang menggunakan tempat ibadah, baik tempat ibadah agama Islam atau agama yang lain untuk politik praktis.Â
"Nah, di dalam negara hukum, mari kita menaati hukum yang ada," ujar Wakil Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama atau LPBH PBNU itu.
Hal itu berbeda kalau yang dikampanyekan adalah politik kebangsaan. Menurutnya, politik kebangsaan menjadikan agama sebagai sumber inspirasi dan moral untuk mengawal negara dan bangsa.Â
"Politik kebangsaan itu boleh dikampanyekan di mana-mana," ujar alumnus Pesantren Miftahul Huda Gading, Malang itu.Â
Pria yang juga menjadi anggota Forum Advokat Konstitusi itu menyebut beberapa hal tentang politik kebangsaan yang harus dikampanyekan. Seperti larangan tentang korupsi, menegakkan keadilan, mewujudkan kesejahteraan, dan menghargai kemanusiaan.Â
"Prinsip-prinsip seperti itu yang harus dikembangkan," tandasnya. (Husni Sahal/Ibnu Nawawi)