Nasional

Piagam Madinah Sahih Setelah Al-Qur’an

Ahad, 4 Desember 2016 | 06:01 WIB

Jakarta, NU Online 
Nabi Muhammad SAW 15 abad lalu telah mencoba dan berhasil menciptakan konstitusi modern bukan berdasarkan agama, suku, dan identitas lain. Namun negara berdasarkan kebenaran, kebersamaan, dan keadilan. Konstitusi yang dimaksud adalah Piagam Madinah. Di dalam konstitusi tersebut melindungi kaum Muslim Muhajirin dan Ansor, suku Aus dan Khajraj serta suku-suku lain. Juga pemeluk agama Yahudi, Nasrani, dan Majusi. 

Menurut Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj negara yang dipimpin Nabi Muhammad SAW bukan negara Islam, bukan negara Arab, tapi negara Madinah. Kata tersebut berasal dari kata tamaddun

“Artinya setiap suku dan agama memiliki hak dan kewajiban sama. Yang benar dilindungi. Yang salah dihukum. Tidak pandang bulu agamanya apa, sukunya apa. Sistem seperti itu disebut tamaddun. Asalnya bernama Yatsrib diganti jadi Madinah,” tegasnya saat berceramah pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di halaman gedung PBNU, Jakarta, Sabtu malam (3/12). 

Kiai asal Cirebon tersebut mengatakan, sumber sejarah yang disampaikannya tersebut bisa diperiksa dalam kitab Sirah Nabawiyah juz 2 halaman 219 sampai 221 karya Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Anshari. 

“Menurut Sayidina Ali (Ali bin Abi Thalib) sahihnya (kebenaran Piagam Madinah) sangat luar biasa setelah Al-Qur’an,” tambahnya. 

Piagam Madinah tersebut, lanjut pengasuh Pondok Pesantren Al-Tsaqofah, Jakarta ini, dikembangkan kiai-kiai NU. Pada Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1936 misalnya kiai sarungan, berpeci dan berbaju takwa, bersandal bakiak itu memutuskan bahwa mereka menyatakan negara yang akan dibentuknya bukan berdasarkan agama atau suku. 

“Kami Nahdlatul Ulama menghendaki sistem Indonesia ini darus salam, bukan darul Islam, negara damai. Negara yang di dalamnya terdapat berbagai agama, lintas suku,” katanya. 

Kiai-kiai NU waktu itu berpandangan, di negara yang akan dibentuk, penduduknya baik asli maupun pendatang, latar belakanganya apa saja, asal satu visi satu misi, maka mereka adalah saudara. 

Ummatan wahidah (satu umat) seperti Rasulullah membangun Madinah asalkan satu visi, satu misi. Semuanya satu umat, saudara sebangsa setanah air.”

Hadir pada kesempatan tersebut Bendahara Umum PBNU Bina Suhendra, Ketua PBNU H Aizuddin Abdurrahman, Katib Syuriyah KH Nurul Yaqin Ishaq dan H Sa’dullah Affandy, Wakil Sekretaris Jenderal PBNU H Imam Pituduh dan H Andi Najmi, Ketua LD PBNU KH Maman Imanul Haq Faqih, dan lain-lain. (Abdullah Alawi)