Nasional OBITUARI

Perjalanan Hidup Mbah Din Buntet Pesantren

Rab, 25 April 2018 | 20:00 WIB

Perjalanan Hidup Mbah Din Buntet Pesantren

Sesepuh Buntet Pesantren Cirebon KH Nahduddin Royandi Abbas (Mbah Din)

Mei 2017 adalah kali terakhir saya bisa berteduh langsung di meripat-nya. Di Bandara Soekarno Hatta, saya berkesempatan mengantarkannya ke tanah yang sejak tahun 1958 ditinggalinya, Inggris.

Di negeri Elizabeth itu, ia bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia. Lalu, di situ juga, ia meneruskan pendidikan tingginya di jurusan Ekonomi Internasional dan Sejarah Internasional di London University. Kemudian, ia melanjutkan studinya di jurusan Ekonomi Perdagangan di University of North London. Kiai penggemar klub sepakbola Arsenal itu juga menyelesaikan postgraduate-nya di universitas yang sama pada jurusan Ekonomi Pembangunan.

Ketika mulai muncul Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU), sosoknya dipilih sebagai Rais Syuriyah pertama di PCINU Inggris pertama.

Masa kecilnya tidak dihabiskan untuk bermain. Ia bersama rekan sebayanya saat usianya masih belasan diminta ayahnya untuk menjadi telik, mata-mata yang bertugas mengintai gerak-gerik kolonial. Ayahnya menamai pasukannya Asybal.

Siapa yang tak kenal KH Abbas Abdul Jamil, sosok penting dari pecahnya perang 10 November 1945 di Surabaya. Tapi, putra bungsunya itu tidak ongkang kaki di atas kebesaran ayahnya. Ia berkelana mencari butir-butir pengetahuan. 

Ia pernah mondok di pesantren Lirboyo, Kediri di bawah bimbingan KH Abdul Karim. Sebelumnya, tentu ia menghabiskan masa studinya di Pondok Buntet Pesantren. Ia pun pernah menginjakkan kaki di ibu kota. Di sana, saat masih berusia belasan, ia berjualan untuk menghidupi dirinya sembari bersekolah SMA. Tidak mengandalkan kiriman orangtua ataupun saudaranya.

Di Jakarta itu, ia akrab dengan sosok seniman Lesbumi, Jamaluddin Malik. Tahun 2014, saya pernah mengantarnya bertemu Imam Besar Masjid Istiqlal KH Ali Mustofa Yaqub. Di daerah Menteng selepas jembatan layang dari arah Setia Budi, ia menunjuk suatu rumah di sebelah kanan. Di situlah, ia kerap kali bertemu ayahanda Kamelia Malik itu.

Di usianya yang kedua puluh, ia sudah ditunjuk untuk menjadi salah satu pembimbing haji. Saat itu, ia tinggal di Saudi untuk mengaji kepada Musniduddunya Syaikh Yasin al-Fadani dan Syaikh Dahlan al-Kediri. Saya mendengar langsung ia cerita tentang sosok keduanya yang kerap kali mengajaknya makan satu meja. Maka tak aneh jika saya selalu diajaknya makan semeja dengannya, baik di Jakarta, ataupun di Buntet.

Ketika menjadi pembimbing itu, ia meminta sejumlah kain batik ke petugas dari Pemerintah Indonesia. Kain itu dijadikannya sebagai pemulus kinerjanya, mendobrak pintu-pintu yang dikawal orang-orang yang dikenal keras itu. Tak ayal, ia tak menemui kendala berarti selama berlangsungnya ibadah haji tersebut.

Prinsip Hidup
Saban pertemuan, di mana pun, kapan pun, dan kepada siapa pun, sosok yang lahir pada tahun 1933 itu selalu berpesan tiga hal, yakni jujur, ikhlas, dan tawadlu. Entah kenapa hal ini selalu ia sampaikan. Tetapi, pada tahun 2015 lalu, saat saya bersama rekan-rekan alumni Pondok Buntet Pesantren itu sowan kepadanya, ia mengatakan, “Kalau jujur, sebentar saja Indonesia akan makmur.”

Kalimat singkat itu bukan sekadar ritmis dengan akhiran ‘ur’nya saja yang indah, maknanya juga begitu dalam. Saya tak ingin menguraikannya karena saya yakin semua paham maksud pernyataan kiai berputra semata wayang itu.

Ke-tawadlu-annya jelas tecermin dari gaya hidupnya yang sederhana. Siapa pun orangnya, ia ajak makan bersama satu meja. Tidak mengenal kelas, kasta, jabatan, atau apa pun. Semuanya ia ajak makan bersama. Tak terkecuali saya sebagai seorang santrinya. Ketika saya minta diri untuk duduk di bawah, ia mencegahnya.

Ke-tawadlu-annya juga terkesan oleh KH Nurul Huda, pengasuh Pesantren Motivasi Indonesia, Bekasi. Dalam status di akun facebook-nya, kiai muda itu menulis bahwa Pak Royandi, sapaan akrabnya di Britania Raya, enggan melanjutkan kakaknya, KH Abdullah Abbas, yang wafat pada tahun 2007 untuk meneruskan mengasuh Pondok Buntet Pesantren.

“Seandainya masih ada yang lain, saya tak mau menduduki posisi kakak saya di pesantren ini,” tulisnya mengutip pernyataan Kiai Nahduddin yang merendah.

Di samping itu, tinggal di apartemen sederhana di Vivian Avenue di kawasan Handon juga menjadi kesan tawadlu yang lain di benak Kiai Enha, sapaan KH Nurul Huda.

Saking dekatnya dengan Kiai Nahduddin, Kiai Enha menganggapnya sebagai ayah keduanya. Ia sangat terinspirasi dengan sosok yang pernah ia sowani di Inggris itu.

Selain itu, meskipun lebih dari setengah usianya dihabiskan di Inggris, ia tak lupa dengan identitasnya sebagai seorang yang lahir dari tanah pesantren, Cirebon, Jawa, dan Indonesia. Bicara dengan masyarakat Buntet, ia akan menggunakan bahasa Jawa dialek Cirebon yang khas Buntet. Bicara dengan masyarakat yang biasa berbahasa Indonesia, ia pun akan menggunakan bahasa yang sama. Pun dengan bahasa Sunda, Inggris, bahkan Perancis, bisa jadi.

Kiai yang saya sapa dengan sebutan Mbah Din itu tak pernah lupa memotivasi para santrinya. Di Mei tahun lalu itu, sebelum mengantarnya ke bandara, saya diajak masuk ke kamar tempat ia istirahat di rumah putra semata wayangnya di Pejaten, Jakarta Selatan.

Saya diminta melipat dua bajunya. Setelah rapi, ia memintanya untuk dimasukkan ke salah satu kertas kado. Lalu, “bil barkah, ya,” katanya sembari menyerahkan dua potong baju itu.

Semangat itu juga lahir dari cerita-cerita yang selalu ia kisahkan tidak sampai selesai. Ya, ia sengaja tak menceritakannya hingga tuntas dengan detail yang amat rinci. Misalnya, ia bercerita pecahnya Korea menjadi Korea Utara dan Korea Selatan. Kekhalifahan Turki juga pernah saya dengar dari lisannya. Tapi, sebelum kisahnya itu berakhir, ia selalu ngendika, “Sudahlah, nanti kamunya tidak baca.”

Membaca menjadi pesan pentingnya kepada para santri. Ia juga pernah dawuh kepada saya, “Bacalah lebih dari apa yang diwajibkan!” Pengetahuannya memang panjang kali lebar, luas. Sangat luas. Bukan saja ahli di bidang agama, tapi pengetahuan umum pun ia kuasai.

Meskipun ia ahli di bidang ekonomi, tetapi ia sangat mendorong para santri untuk menempuh studi di bidang sains dan teknologi. Hal itu ia sampaikan tiap kali saya sowan dengan mengajak para alumni.

Saat ia masih di tinggal di Pondok Buntet Pesantren, ia mendidik dengan keras beberapa saudaranya. Di antaranya, KH Fuad Hasyim yang dikenal sebagai singa podium dan KH Hisyam Manshur Murtadla, sosok penting yang berkiprah di bidang pendidikan dan parlemen.

Sekitar awal tahun 2018, guru mengaji saya KH Muhadditsir Rifa’i menceritakan satu kisah tentang satu dawuh kakeknya, Kiai Akyas yang belum terbukti. Para kiai sejak tahun 1970-an telah meminta Mbah Din untuk pulang dan tinggal di Pondok Buntet Pesantren. Kiai Akyas saat itu ngendika, bahwa keponakannya tidak akan pulang kecuali bersama keranda.

Dan, hari ini, saya mendengar perkiraan Kiai Akyas yang belum terbukti itu benar-benar terbukti, nyata. Kabar duka itu mampir melalui media sosial. Sosok 84 tahun itu dipanggil Allah swt setelah berbulan-bulan berupaya menaklukkan sakitnya. Allah lebih rindu dengan kiaiku.

Untuk Mbah Din, Alfatihah.

Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rabu, 25 April 2018

(Syakir NF)