Nasional

Pensiun dari Pengurus Harian, Nyai Machfudhoh Pilih Konsentrasi di Dakwah

Kamis, 1 Desember 2016 | 05:30 WIB

Pensiun dari Pengurus Harian, Nyai Machfudhoh Pilih Konsentrasi di Dakwah

Hj Mahfudhoh Aly Ubaid (kiri depan) dalam sebuah kegiatan Muslimat NU.

Jakarta, NU Online
Palu yang dipegang diangkat tinggi-tinggi. “Apakah LPj (Laporan Pertanggungjawaban) bisa diterima?” tanyanya dengan suara datar penuh kharisma. “Setuju..!!” koor peserta kongres. Palu kemudian diketukan tiga kali tanda LPj disetuju secara utuh.

Begitulah ‘gaya’ Nyai Hj Machfudhoh Aly Ubaid. Di usia 72 tahun masih penuh semangat memimpin sidang pleno LPj PP Muslimat NU masa khidmat 2011-2016 saat Kongres XVII, 23-27 November 2016 lalu di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta.

Tak sembarang kader bisa melakukannya, terlebih memimpin sidang yang dihadiri 500-an lebih anggota PW dan PC se-Indonesia plus PCI. Tapi salah satu putri pendiri Nahdlatul Ulama, KH Wahab Chasbullah itu melakukannya dengan tenang, tanpa gaduh dan semua PW diberi kesempatan yang sama untuk menyampaikan padangan terkait LPj.

Sayangnya, di kepengurusan 2016-2021 ini dia memilih pensiun dari pengurus harian. Padahal dalam banyak kesempatan, Ketua Umum PP Muslimat NU, Khofifah Indar Parawansa kerap menyebut Nyai Machfudhoh adalah ‘jimat’ Muslimat NU.

“Saya ini sudah lima periode (25 tahun) dan usia tak muda lagi. Kalau terus di situ kapan memberi kesempatan yang lain. Tapi kalau masih diberi kesempatan biar saya fokus di dakwahnya, di Hikmat untuk melanjutkan pengabdian di Muslimat NU,” katanya, Selasa (29/11) dilansir laman resmi PP Muslimat NU, MNU Online.

Di periode 2011-2016, selain menjabat Ketua I, Nyai Machfudhoh merangkap sebagai ketua Hidmat (Himpunan Daiyah Majelis Taklim Muslimat NU). Di kepengurusan 2016-2021, Ketua I dimandatkan kepada Dr Hj Sri Mulyati.

“Saya sudah bilang ke Mbak Khofifah kalau menempatkan orang di yayasan ini (Hidmat) jangan rangkap jabatan. Saya mengalami, kemarin di bidang organisasi dan Hidmat, hati kecil saya nggak puas dan hasilnya nggak signifikan,” paparnya.

“Hidmat perlu penanganan sendiri. Itu kalau mau diurusi secara serius sibuknya kayak pengurus harian. Tergantung bagaimana kita memfungsikan wadah itu. Dengan kondisi dan usia saya saat ini rasanya lebih banyak manfaatnya di sini (Hidmat). Semoga diberi umur panjang agar bisa terus melanjutkan pengabdian di Muslimat NU.”

Penanganan lebih serius

Bagi Nyai Machfudhoh, penanganan dakwah harus lebih serius karena tantangan yang dihadapi saat ini jauh lebih kompleks. Mulai soal bahaya narkoba, LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) serta aliran seperti Wahabi dan liberal.

“Kalau kita nggak kuat bisa merusak akidah,” katanya.

Dia meraskan tantangan yang ada sekarang sasarannya adalah orang NU karena memang gemar dzikir, ziarah ke makam, silaturahim hingga  melakukan kegiatan secara aktif di hari besar Islam.

Tapi justru event itulah yang memperkuat posisi NU. “Karena rasa kekuatannya di situ, ya ibadahnya, ukhuwahnya bahkan bisa memberikan refreshing. Nah kalau ini nggak dipegang secara khusus bagaimana bisa signifikan hasilnya,” paparnya.

Tanpa Nyai Machfudhoh, apakah ‘jimat’ Muslimat NU akan hilang? “Ya nggak dong. Pengurus kan formalitas kepengurusan, tapi hati ini tetap di sana. Saya tetap bagian dari Muslimat NU, ketika nanti ada yang nggak benar, misalnya, ya tetap kita luruskan,” tandasnya. 

(Red: Fathoni)