Nasional

Pengamat Timur Tengah: Janji Politik Taliban Hanya Akan Terjadi di Level Elite

Sab, 21 Agustus 2021 | 12:30 WIB

Pengamat Timur Tengah: Janji Politik Taliban Hanya Akan Terjadi di Level Elite

Ilustrasi: AS menandatangani kesepakatan damai dengan Taliban setelah melakukan perundingan di sebuah hotel mewah di Doha, Qatar pada Februari 2020. (Foto: Getty Images via BBC)

Jakarta, NU Online

Pengamat Timur Tengah Muhammad Imdadun Rahmat mengatakan bahwa janji-janji politik Taliban setelah berhasil menguasai Afghanistan hanya akan terjadi di level elite. Namun, pada praktiknya di tataran masyarakat bakal berbeda karena tetap akan diterapkan doktrin konservatisme beragama. 


Beberapa janji politik Taliban adalah akan membuat pemerintahan yang moderat, inklusif, dan menjunjung hak-hak warga negara, terutama perempuan. Di antaranya, perempuan bakal diperbolehkan untuk berperan di ruang publik dan tidak diwajibkan mengenakan pakaian burka. 


“Kita berharap proses moderasi terjadi. Secara teoritik, kelompok perlawanan itu kalau diberi peran di dalam pemerintahan cenderung akan mengalami proses moderasi. Mereka harus bernegosiasi dengan berbagai kepentingan,” tutur Imdad saat dihubungi NU Online, Sabtu (21/8).


Setelah berkuasa di Afghanistan, Taliban kini harus bernegosiasi dengan dunia internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara-negara Islam yang tergabung di dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di kawasan Timur Tengah.


“Jadi, kecenderungan umum kalau berkuasa itu sedikit banyak akan mengalami proses moderasi. Tetapi teori juga mengatakan, proses moderasi karena faktor politik itu biasanya hanya terjadi di level elite. Di level massanya yang dipegang adalah doktrin,” jelas Imdad. 


Sebagai gambaran, Imdad mencontohkan situasi yang terjadi di Mesir saat Ikhwanul Muslimin berkuasa. Di level elite, kelompok yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin di seluruh dunia akan mengeluarkan retorika, pernyataan, dan sikap politik yang moderat. Namun praktik di bawah pasti akan berbeda. 

 
“Saya khawatir moderasi itu hanya terjadi di tingkat elite, kalau toh ada proses moderasi itu akan terjadi terlalu lama sehingga di bawah bakal banyak terjadi persekusi-persekusi atas nama konservatisme agama. Ini yang kita khawatirkan di internal Afghanistan,” terang Direktur Said Aqil Siroj (SAS) Institute itu. 


Selain itu, karena proses pengambilalihan kekuasaan yang dilakukan Taliban melalui perang, maka akan sangat sulit diharapkan mereka mampu mengakomodasi kelompok-kelompok lain yang berseberangan. Dengan demikian, harapan dunia Internasional yang menginginkan Afghanistan menjadi negara moderat dirasa akan sulit. 


Dijelaskan bahwa dalam teori politik terdapat dua pola transisi kekuasaan yakni trans-placement dan replacement. Sementara peralihan kekuasaan yang terjadi di Afghanistan saat ini, menurut Imdad, menggunakan pendekatan yang kedua. 


“Nah yang terjadi di Afghanistan ini sekarang adalah replacement. Jadi penguasa lama kabur, hilang, digantikan dengan kekuasaan yang sama sekali baru. Kalau trans-placement itu kan mungkin ada sekian persen penguasa lama yang dilibatkan ketika penguasa baru menduduki ruang elite. Kalau di Afghanistan sekarang ini benar-benar baru, semua kekuasaan diambil alih oleh Taliban,” jelas Imdad.


Jika demikian, Afghanistan di bawah kekuasaan Taliban ini akan memunculkan masalah soal keselamatan kelompok-kelompok yang dianggap musuh atau berseberangan secara politik. Kemungkinan yang terjadi adalah akan banyak terjadi pembunuhan sehingga banyak warga yang mencoba melakukan eksodus atau pelarian dari Afghanistan.


“Karena memang kemungkinan akan terjadi pembunuhan politik itu sangat besar. Memang ada amnesty (pengampunan) untuk masyarakat yang tidak tahu apa-apa. Tetapi untuk mereka yang dianggap terlibat (kekuasaan lama) itu dalam praktiknya enggak (tidak mendapat pengampunan),” ungkap Wakil Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.


Di Mesir, sebagai contoh, ketika Ikhwanul Muslim berhasil mengambil alih kekuasaan maka semua orang yang dianggap terlibat dengan penguasa sebelumnya ditangkap dan dipenjara. Begitu juga sebaliknya saat Abdul Fattah Al-Sisi berkuasa, semua elite Ikhwanul Muslimin dipenjara.


“Itu kalau replacement begitu. Nah ini yang terjadi di Afghanistan itu adalah replacement. Jadi, akan ada potong satu generasi. Jadi berharap akan munculnya bangsa yang inklusif dan pemerintah yang demokratis di Afghanistan, agaknya susah,” tutur Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) 2016-2017 itu. 


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad