Nasional

Pelibatan TNI dalam Produksi Obat-obatan, Pengamat: Apakah Tentara Mulai Bergeser dari Tupoksinya?

NU Online  ·  Senin, 28 Juli 2025 | 12:00 WIB

Pelibatan TNI dalam Produksi Obat-obatan, Pengamat: Apakah Tentara Mulai Bergeser dari Tupoksinya?

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid. (Foto: dok. pribadi)

Jakarta, NU Online

Keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam produksi obat-obatan bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menuai beragam tanggapan.


Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid memperingatkan bahwa pelibatan aktif TNI di sektor-sektor non-pertahanan, bisa mengarah pada kebangkitan kembali pada praktik dwifungsi TNI.


"Keterlibatan aktif TNI dalam program sipil memunculkan pertanyaan serius: apakah TNI mulai bergeser dari tupoksinya sebagai alat pertahanan negara?" kata Usman, Senin (28/7/2025) 


Ia menegaskan bahwa tugas militer adalah menjaga kedaulatan dan menghadapi ancaman asing, bukan menjalankan program pembangunan sipil.


Usman juga menyoroti bahwa dalih keterlibatan militer untuk menjawab krisis global seharusnya diarahkan untuk memperkuat pertahanan modern, bukan menyasar sektor-sektor yang bisa ditangani lembaga sipil.


"Jika dibiarkan, kebijakan ini akan melanggengkan praktik dwifungsi TNI yang seharusnya sudah ditinggalkan sejak era reformasi," ujarnya.


Usman mendesak agar pemerintah dan TNI meninjau kembali arah kebijakan ini. "TNI harus dikembalikan ke jati dirinya sebagai alat pertahanan negara yang profesional dan tidak terlibat dalam urusan sipil," pungkasnya.


Sementara itu, pengamat militer sekaligus Co-founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai bahwa hal ini bukan bentuk penyimpangan dari tugas pokok militer, melainkan bagian dari intervensi negara untuk menjawab persoalan serius di sektor kesehatan.


“Saya memandang keterlibatan TNI dalam produksi obat, apalagi melalui kerja sama dengan BPOM, bukanlah penyimpangan dari tugas pokok, tapi justru bentuk intervensi negara untuk menjawab persoalan yang cukup serius: harga obat yang cenderung mahal dan distribusi yang belum merata,” ujar Khairul saat dihubungi NU Online pada Senin (28/7/2025).


Ia menjelaskan, langkah ini bisa dimaknai sebagai bagian dari Operasi Militer Selain Perang (OMSP), yakni membantu pemerintah dalam urusan non-pertempuran, termasuk pelayanan kesehatan masyarakat.


Khairul mengingatkan bahwa TNI memang memiliki lembaga farmasi militer sejak era 1950-an, yang selama ini berfungsi memenuhi kebutuhan internal militer, seperti rumah sakit dan klinik kesehatan.


“Tapi jika kapasitas itu dikembangkan untuk membantu masyarakat luas, saya kira wajar saja, asal orientasinya tetap pelayanan publik, bukan kepentingan bisnis,” jelasnya.


Namun ia menekankan, pelibatan TNI harus tetap bersifat terbatas dan kontekstual. "TNI adalah alat pertahanan negara. Dalam kondisi krisis seperti pandemi, pelibatan militer di sektor kesehatan bisa sangat krusial. Tapi dalam situasi normal, kehadiran militer harus bersifat pendukung, bukan dominan, apalagi mengambil alih fungsi sipil," ujarnya.


Tiga Catatan Penting: Supremasi Sipil hingga Transparansi Ekonomi

Agar pelibatan militer tidak keluar dari rel, Khairul menyampaikan tiga catatan penting. Pertama, keterlibatan TNI harus tetap tunduk pada prinsip supremasi sipil. 


"Jangan sampai pemanfaatan kapabilitas farmasi malah menyeret TNI terlalu jauh ke sektor ekonomi dan memicu konflik kepentingan," katanya.


Kedua, pelibatan TNI harus mempertimbangkan dampaknya terhadap ekosistem industri farmasi nasional. "Indonesia punya ekosistem farmasi yang cukup mapan. Kehadiran TNI sebagai produsen yang tak tunduk pada logika pasar bisa menimbulkan ketimpangan. Sebaiknya TNI mengisi kekosongan, seperti di wilayah terpencil atau sektor yang belum tersentuh swasta," tegasnya.


Ketiga, pentingnya menjaga transparansi distribusi, terutama jika melibatkan entitas ekonomi seperti Koperasi Merah Putih. "Meskipun koperasi berbasis gotong royong, tetap saja entitas ekonomi. Harus dijaga transparansi dan akuntabilitas agar fungsi sosial TNI tidak tumpang tindih dengan kegiatan komersial," lanjutnya.


Khairul mengakui, dalam situasi darurat atau ketika terjadi gangguan pada rantai pasok nasional, TNI bisa memainkan peran strategis.


"Kapasitas logistik dan manuver cepat TNI sangat membantu, seperti saat distribusi vaksin Covid-19 atau penyaluran bantuan di daerah bencana," paparnya.


Namun dalam kondisi normal, ia menegaskan bahwa pelibatan TNI sebaiknya hanya sebatas dukungan. "TNI bukan institusi produksi barang. Urgensinya harus dikaitkan dengan aspek strategis, bukan rutinitas ekonomi. Kalau ini dijaga, pelibatan TNI justru akan memperkuat ketahanan nasional tanpa mengganggu tatanan sipil yang ada," pungkasnya.