Jakarta, NU Online
Pengucapan al-Fatihah dengan al-Fatekah oleh Presiden Joko Widodo menjadi viral. Warganet ramai-ramai membahas hal itu. Tak terkecuali Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia dan Selandia Baru KH Nadirsyah Hosen melalui akun twitternya @na_dirs.
Pria yang akrab disapa Gus Nadir itu mengatakan bahwa Rasulullah pernah mengizinkan Salman Al-Farisi untuk menulis surat Al-Fatihah dalam bahasa Parsi.
“... Salman al-Farisi, sahabat Nabi dari Persia, bahkan diijinkan Rasul menuliskan al-Fatihah dlm bahasa Parsi utk mengajari mrk yg belum fasih melafalkan huruf arab,” tuitnya pada Rabu (10/10).
Menurut Gus Nadir, siapa yang memahami ayat ke-3 dan ke-4 al-Fatihah tidak akan mempertentangkan cara penyebutan al-Fatihah dan al-Fatekah. Sebab, al-Fatihah melalui dua ayat tersebut merupakan gabungan antara tasawuf dan syariat.
Dosen senior pada Sekolah Hukum Universitas Monash, Australia itu juga mengatakan bahwa yang mengolok-olok bacaan tersebut belum sampai pada makna, tetapi terbatas pada lafal saja.
“Sekali lagi, kita yang masih asyik mengolok-olok sebatas ucapan al-Fatekah, boleh jadi belum memahami rahasia surat al-Fatihah. Kita masih sebatas kata, belum menggapai makna; masih fokus pada ucapan, belum berjalan keluar dari ego diri,” tulisnya.
Lebih lanjut, Gus Nadir menjelaskan bahwa dalam literatur keislaman, ada 10 macam pembacaan Al-Qur’an, qiraat ‘asyrah. Kesepuluhnya ini boleh dibaca. Hal ini, katanya, menunjukkan bahwa al-Fatihah bukan sekadar pelafalannya saja.
“Kalau hanya sebatas pelafalan, lupakah kita pada qira’at asyrah (10 cara pembacaan) dalam literatur keislaman? Termasuk ada 10 cara berbeda membaca surat al-Fatihah, yang kesemuanya sah! Maka al-Fatihah bukan sekedar pelafalan belaka...,” lanjutnya.
Gus Nadir menghadirkan sebuah link (
Surah Fatihah 10 Different Styles by Mishary - high definition) yang menunjukkan perbedaan bacaan al-Fatihah. Di antara perbedaan tersebut adalah bacaan
‘alayhim yang dibaca
‘alayhum pada ayat terakhir. Dalam ilmu
qiraat, satu bacaan itu saja, menurutnya, dibahas cukup panjang.
“Bagaimana? Apa kita bisa membedakan dari kesepuluh cara pembacaan yang berbeda itu? Kalau belum, dengar lagi pelan-pelan. Ada kata ‘alayhim yg dibaca ‘alayhum. Panjang penjelasannya dalam ilmu qira’at. Ilmu Allah itu luas. Ambil wudhu, mari basuh wajah-wajah kesombongan kita,” pungkasnya. (Syakir NF/Zunus)