Nasional

PBNU Kaji Deradikalisasi Berbasis Agama

NU Online  ·  Rabu, 23 Maret 2016 | 12:03 WIB

Jakarta, NU Online
Direktorat Ketahanan Ekonomi, Sosial, dan Budaya Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementrian Dalam Negeri (Kemendragi) bersama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelara forum diskusi faktual dengan tema “Deradikalisasi Berbasis Agama” di Lantai 5 Gedung PBNU, Rabu (23/3). Acara tersebut diadakan untuk merespon dan mencegah tindakan-tindakan radikalisme dan terorisme.

“Silaturahmi ini akan dilakukan rutin setiap bulan secara bergilir (di kantor-kantor Organisasi Masyarakat Agama). Pertemuan kedua ini diadakan di PBNU,” kata Budi Prasetyo, Sekretariat Jenderal Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri.

Ia berharap bahwa diskusi rutin ini bisa mendorong kepada para tokoh agama untuk ikut serta dalam menanggulangi dan mencegah aksi-aksi radikalisme dan terorisme. “Tentu pemerintah tidak bisa berjalan sendiri (dalam mencegah radikalisme dan terorisme). Maka dari itu, kita ingin membangun sinergitas dengan para tokoh agama,” ujarnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBNU HA Helmy Faisal Zaini mengaku senang dan mengapresiasi acara diskusi tersebut. Menurutnya, upaya untuk merumuskan formula pencegahan radikalisme dan terorisme harus terus-menerus disempurnakan, agar tindakan radikal tersebut bisa dibendung sedini mungkin.

“Usulan kita kepada pemerintah adalah adanya upaya yang lebih tegas (terhadap gerakan radikal tersebut). Menurut saya ada beberapa kelompok agama yang hubungannya belum selesai dengan negara,” jelas Helmy.

Helmy mengatakan bahwa tarik-ulur hubungan antara agama dan negara masih terjadi di Indonesia. Lebih lanjut, ia mengutip pendapat Gus Dur terkait dengan tiga cara pandang hubungan antara agama dan negara yang berkembang. “Pertama, universalistik. Ia menilai bahwa cara pandang pertama ini memiliki pendapat bahwa antara agama dan negara itu sesuatu yang sama. Tidak perlu dibeda-bedakan,” terang lulusan Pascasarjana Universitas Paramadina tersebut.

Kedua, pandangan yang bersifat sekularistik. Ia menjelaskan bahwa cara pandang kedua ini meletakkan agama dan negara itu tidak ada sangkut-pautnya dan keduanya berdiri sendiri-sendiri. “Dan terakhir adalah simbiotik. Yaitu (cara pandang) yang meletakkan agama dan negara secara harmoni dan berkesuaian sebagaimana Islam yang berkembang di Indonesia,” pungkasnya.  

Selain dihadiri oleh 13 Organisasi Masyarakat Agama seperti Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Persis (Persatuan Islam), LPOI (Lembaga Persaudaraan Umat Islam), KWI (Konferensi Waligereja Indonesia), dan lainnya, acara ini juga dihadiri oleh Budi Prasetyo (Sekretariat Jenderal Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri), Irfan Idris (Direktur Deradikalisasi BNPT), dan Arif Poerboyo Moekiyat (Deputi Menkopolhukam Bidang Koordinasi Kesatuan Bangsa). (Muchlishon Rochmat/Fathoni)