Nasional

Pakar: Praktik Perbankan Syariah Perlu Ditinjau Ulang

NU Online  ·  Selasa, 20 Februari 2018 | 14:00 WIB

Pakar: Praktik Perbankan Syariah Perlu Ditinjau Ulang

Dewan Pakar IAEI, A. Riawan Amin.

Jakarta, NU Online 
Konsep perbankan syariah yang ada di Indonesia ini perlu ditinjau ulang, sehingga tidak menjadi industri baru yang hanya menyenangkan pihak-pihak tertentu, seperti ulama dan bankir. 

Demikian dikatakan Dewan Pakar Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) A. Riawan Amin kepada NU Online, di Kampus Unusia Jakarta, Jakarta Timur, Selasa (20/2) terkait dengan perkembangan perbankan syariah di Indonesia. 

"Setiap orang senang dengan perannya masing-masing, yang dosen-dosen senang dia belajar dari buku, yang ulama juga senang menambah ilmu baru tentang bank, bankirnya senang ada kerjaan, bukan itu, tapi (bagaimana) perbankan syariah harus menjadi solusi bagi bangsa dan kalau gak tumbuh-tumbuh atau tumbuhnya ke arah yang kurang tepat nanti malah jadi backfire," katanya.

Di antara yang perlu ditinjau ulang ialah tentang strategi yang selama ini diambil oleh perbankan syariah. Menurutnya, strategi dengan berjualan kata 'riba' itu seperti ‘mengadu’ antara bank syariah dengan bank konvensional. 

"Saya nggak sepakat dengan strategi (berjualan kata riba) yang diambil. Kalau saya tidak penting syariah itu besar, yang penting transaksi syariah itu dominan," ujarnya. 

Menurutnya, jika menghendaki transaksi syariah menjadi besar, maka harus meruntuhkan hambatan-hambatan untuk semua bank di Indonesia dalam menjalankan syariah. Jika tidak bisa, maka lebih baik tidak perlu membuat bank syariah. 

"Enggak usah ngomong bank syariah deh. Transaksi syariah bisa dilakukan oleh siapa saja, oleh bank konvensional juga boleh asal dijamin syariah," ujarnya. 

Lebih dari itu, ia mengaku kurang setuju adanya bank syariah. Menurutnya, keinginan syariah pada sebuah bank tidak harus membuat bank baru dengan nama syariah, sebab itu membutuhkan biaya yang tinggi. 

"Kalau biayanya tinggi, maka rate-nya mahal, kalau rate-nya mahal, orang banyak nggak mau. Mau bilang masuk surga atau apa, kalau rate-nya mahal, rate-nya kaya 'neraka', orang nggak mau," terangnya. (Husni Sahal/Fathoni)