Nasional

Pajak dan Perdagangan Karbon Harus Beri Manfaat bagi Rakyat

Sel, 14 September 2021 | 16:59 WIB

Pajak dan Perdagangan Karbon Harus Beri Manfaat bagi Rakyat

Waketum PBNU Prof Maksum Mahfoedz. (Foto: Dok. NU Online)

Jakarta, NU Online 
Menurut proyeksi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia berpotensi mendapatkan tambahan pendapatan sebesar Rp350 triliun dari transaksi pajak dan perdagangan karbon. 


Belakangan, pemerintah mulai berambisi untuk menerapkan beberapa regulasi dan kebijakan yang akan mengatur transaksi dalam pajak dan perdagangan karbon tersebut.


Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Umum PBNU Prof Maksum Mahfoedz mengatakan, dalam urusan pajak dan perdagangan karbon, negara harus hadir sebagai bagian yang juga memberikan dampak kebermanfaatan bagi rakyat. Apalagi, perdagangan karbon juga melibatkan banyak pihak hingga level global.


“Dalam perekonomian, negara punya tiga fungsi utama: pengawasan dan pengendalian, regulasi dan law enforcement, serta penyediaan barang publik. Ketiga fungsi negara tersebut wajib dilakukan untuk menjadi pembuat kebijakan yang tepat,” kata Prof Maksum dalam Bahtsul Masail Nasional: Pajak dan Perdagangan Karbon, beberapa waktu lalu. 


Perdagangan karbon sendiri merupakan kegiatan jual-beli izin atau sertifikat yang diberikan kepada negara yang berhasil mengurangi emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim.


“Sederhananya, jual-beli dalam hal ini tidak memiliki makna berbeda dengan kegiatan jual-beli yang biasa dilakukan secara konvensional, tapi komoditas yang diperjualkan adalah emisi karbon,” terang Prof Maksum.


Menurut dia, kehadiran pemerintah sebagai regulator menjadi penting dalam hal ini. Ia khawatir, dengan keterbatasan SDA yang ada, tidak sanggup melayani syahwat dari manusia yang tiada batas.


“Kami rasa, perlu ada tokoh agama yang harus masuk dalam sektor ini. Karena selama ini kebijakan yang ada seringkali tidak memperhatikan dari hulunya seperti produsen atau petani. Apalagi pasar dalam artian luas juga sering terjadi eksploitasi syahwat,” tutur Guru Besar Agroindustri Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu. 


Andil pemerintah
Prof Maksum menegaskan, andil pemerintah sangat penting sebagai regulator dan pembuat kebijakan untuk bisa membuat peraturan dan batasan terhadap kerusakan lingkungan maupun perubahan iklim yang menjadi isu global.


Selain itu, ia juga berharap dari perdagangan karbon yang dilakukan antarnegara atau dalam level industri nasional dapat memberikan dampat yang juga bisa dirasakan oleh masyarakat kecil.


“Mereka yang mampu mengurangi emisi karbon itu harus diberi insentif, sementara bagi mereka yang menyebabkan emisi karbon sehingga menjadi polusi perlu diberlakukan pajak. Ini menjadi poin penting, sehingga perlu ada detail dalam aplikasinya nanti,” harapnya.


Bagi dia, peran masyarakat kecil juga memiliki andil yang turut berpengaruh terhadap menekan perubahan iklim. Rakyat yang berprofesi sebagai petani selalu melakukan konservasi air, sehingga turut mendukung pelestarian lingkungan.


“Reward dan berkah tidak pernah menetes kepada yang berhak. Terlebih, peran masyarakat seringkali diabaikan. Padahal, untuk urusan lahan, konservasi, itu tergantung masyarakat, karena mereka termasuk pengelola. Lantas apa guna negara. Maka, saya harap nantinya tidak ada kedzaliman struktural dalam hal ini,” tegasnya.


Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai penerapan pajak karbon di Indonesia akan memberikan tantangan bagi pelaku usaha dan masyarakat.


Ketua Komite Perpajakan Apindo Siddhi Widyaprathama mengatakan, pihaknya telah menyampaikan pandangan pelaku usaha tentang pajak karbon dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR.


“Apindo memberikan beberapa catatan penting termasuk tantangan penerapan pajak karbon di Indonesia. Secara umum, kami tidak sepakat atau belum dapat setuju dengan rencana pemerintah mengenakan pajak karbon,”  kata Siddhi. 


Ia juga menilai pemerintah tidak menjelaskan kedudukan pajak karbon dengan jenis pungutan lain seperti Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tingkat pusat, serta Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) pada tingkat daerah. Hal tersebut dianggap berpotensi memunculkan pajak berganda pada administrasi pajak.


“Absennya pengaturan tersebut berpotensi menciptakan pajak berganda,” terang Siddhi.


Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Musthofa Asrori