Nasional MODERASI BERAGAMA

Padepokan Nyai Surti: Ruang Edukasi Kearifan Lokal dan Kerukunan Umat

Jum, 12 November 2021 | 11:15 WIB

Padepokan Nyai Surti: Ruang Edukasi Kearifan Lokal dan Kerukunan Umat

Padepokan Nyai Surti di Dusun Tajung, Desa Maskuning Kulon, Kecamatan Pujer, Bondowoso, Jawa Timur. (Foto: dok. NU Online)

Padepokan Nyai Surti terletak di Dusun Tajung, Desa Maskuning Kulon, Kecamatan Pujer, Bondowoso, Jawa Timur. Bangunannya memang tak semegah padepokan pada umumnya. Tapi visinya dalam membentengi kebudayaan, keberagaman dan nilai-nilai kearifan lokal sudah tak diragukan. 


Berdirinya Padepokan Nyai Surti tak lepas dari sosok pendiri Muhammad Afifi yang banyak terlibat aktif di Gusdurian sejak tahun 2015. Di organisasi inilah ia mulai belajar banyak hal. Salah satunya tentang kearifan lokal dan keberagaman. Bahkan padepokan Nyai Surti banyak tersublimasi dari 9 nilai Gus Dur, utamanya soal kearifan tradisi dan spirit pluralisme.


Keaktifannya di komunitas tersebut membuatnya kerap bersinggungan dengan pemuda dan tokoh lintas agama. Setiap hari besar umat Kristiani ia bersama rekan-rekannya yang lain tak jarang ikut mempersiapkan kegiatan di gereja. 

 

Prinisp 9 Nilai Gus Dur di Padepokan Nyai Surti. (Foto: dok. NU Online)

 

Tak jarang aktivitasnya memunculkan dan mendapatkan tanggapan pro-kontra di kalangan masyarakat. Akan tetapi ia mempunyai pemikiran bahwa harus membuka diri. Tak boleh membuat tembok tebal antar-golongan. Sebab Kemanusiaan di atas segalanya.


Prinsip kemanusiaan inilah kemudian menjadi pegangan Afif yang secara kultural dan struktural merupakan kader NU (Nahdlatul Ulama) terbiasa sambutan dalam Peringatan-peringatan lintas keagamaan. Satu waktu ia memberi sambutan di Hari Toleransi Internasional di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Bondowoso. 


Kemudian, menjadi pembicara dalam diskusi Peringatan Hari Paskah di GKI. Memimpin doa saat Paskah, Sambutan Perayaan Natal Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) dan sejumlah kegiatan lainnya di gereja. 


Bahkan ia juga sempat jadi pembicara bagi penganut Agama Baha'i di Banyuwangi. Yaitu agama monoteistik yang menekankan pada kesatuan spiritual bagi seluruh umat manusia. 


Agama Baha'i lahir di Persia (sekarang Iran) pada tahun 1863. Pendirinya bernama Mirza Ḥusayn-Ali Nuri yang bergelar Baha'ullah.


Tindakan-tindakan tersebut berangkat dari prinsip toleransi yang dipegangnya, baginya keyakinan beragama atau akidah boleh beda. Tapi soal toleransi, keberagaman, kemanusiaan dan gotong-royong harus menjadi keyakinan bersama.


Meruwat kebudayaan dan kearifan lokal nenek moyang

Selain menjunjung tinggi nilai toleransi dalam keberagaman beragama, padepokan yang kini berusia hampir empat tahun ini bertujuan untuk meruwat kebudayaan dan kearifan lokal yang ditinggalkan nenek moyang.


Afifi mengatakan bahwa kebudayaan tidak cukup hanya diucapkan lewat bahasa verbal atau kata-kata di mimbar atau di ruang kelas. Tapi harus diwujudkan dalam bentuk visual. 


Apalagi di era digitalisasi yang semakin canggih seperti sekarang ini kemajuan teknologi komunikasi tak bisa dibendung hingga tak disadari telah memangkas jarak antar negara dan kebudayaan. Serta terus mengikis kearifan lokal, itu juga menjadi latar belakang didirikannya padepokan ini.

 

Padepokan Nyai Surti melestarikan kearifan lokal. (Foto: dok. NU Online)

 

Karenanya selaku founder, Afif menyebut Padepokan Nyai Surti sebagai ruang edukasi bagi siapapun. Baik mengenai keislaman, kemajemukan, terutama tentang kebudayaan. Keberadaannya juga dinilai sebagai ruang untuk mengeksplorasi yang konotasinya lebih ke kearifan lokal nusantara.


Tak ayal jika mantan aktivis PMII itu memilih untuk tetap mempertahankan suasana klasik yang sarat akan kebudayaan lokal nenek moyang pada padepokannya. Sebab, salah satu cita-cita luhur dari padepokan itu, menghidupkan dan membentengi kebudayaan yang diajarkan orang tua terdahulu.


Diketahui ruang utama padepokan merupakan bekas rumah yang didirikan tahun 1940-an. Terbuat dari kayu jati dan di atas pintunya tertulis '1940'. Pria alumni Pondok Pesantren Darul Ulum, Banyuanyar, Pamekasan, Madura ini mengungkapkan bahwa rumah yang kini menjadi padepokan, adalah rumah peninggalan neneknya.


“Rumah nenek yang sempat tak dipakai dan dipenuhi semak belukar. Kemudian saya bersihkan dan tata ulang. Namun tetap mengedepankan kearifan lokal tadi," ungkapnya saat dihubungi NU Online lewat sambungan telepon pada Jumat (12/11/2021).


Apa yang dikatakan Afif tentang kearifan lokal mengenai bangunan tua tersebut, sangatlah jelas terlihat dari  sejumlah peralatan teknologi dan perabot yang biasa digunakan orang terdahulu.


Misalnya radio analog, mesin ketik, telepon, miniatur batu megalitik, wayang kulit, lonceng,  keris peninggalan nenek moyang dan sejumlah peralatan lainnya. Bahkan asbak rokok menggunakan kendi. Sehingga nuansa klasik sangat kental.


Barang-barang klasik itu ia peroleh dari berbagai sumber, sebagaian dari warga di sekitar padepokan, lainnya pemberian dari kolega yang berkunjung atau dibeli sengaja saat dirinya bepergian ke luar kota.


“Ya, daripada tak terawat mending di taruh di sini. Tapi ini tetap milik mereka. Kapan pun mau diambil silahkan. Ada juga kami diberi teman dari luar kota. Bagi saya semua sangat berharga," jelasnya.


Hal lain yang membuat padepokan itu semakin menarik adalah sejumlah hewan peliharaan yang sengaja ia rawat di dalamnya, seperti ayam, burung dan kambing. Sebagaimana tradisi orang terdahulu. Filosofinya, kata dia, bahwa sebelum mencari rezeki Tuhan harus memberikan rezeki ke makhluk lain.


"Ini sesuai dengan konsep sedekah dalam ajaran agama. Hewan ini Allah yang memenuhi rezekinya. Tapi lewat kita," terang memaparkan.


Latar belakang Nyai Surti

Adapun sosok bernama Nyai Surti adalah tokoh fiksi yang ia angkat untuk menyampaikan tentang keberagamaan atau keinterreligiusan. Bagaimana merelasikan agma dan budaya, serta cara berperan antara keduanya.


Pria kelahiran 1994 ini menyebutkan bahwa nama Nyai Surti bermula dari aktivitas giatnya dikepenulisan yan sifatnya naratif lepas, tetapi tetap condong  kepada soal isu kegamaan, kemanusiaan dan soal kearifan tradisi (budaya lokal). 


Dari tulisan-tulisannya itulah kemudian muncul sosok Nyai Surti sebagai salah satu tokoh fiksi yang oleh publik semakin banyak digemari dan dipertanyakan.


“Saya hampir tiap hari menulis. Menulis apa saja, realitas yang saya jumpai dan sifatnya naratif lepas,” tutur Koordinator Gusdurian Bondowoso itu.


Adapun pola penyampaian Nyai Surti adalah marah-marah. Alasan kenapa ia lebih menonjolkan sosok perempuan, karena dalam pandangannya sifat maskulinitas laki-laki sangatlah kuat sehingga sudah biasa jika didapati laki-laki marah. 


"Sosok perempuan saya hidupkan dan wataknya keras. Cukup berhasil. Secara substantif, itu cara kita memarahi diri sendiri. Sebetulnya saya memarahi saya. Lazimnya orang kan memarahi orang lain. Sekarang gunakan energi marah itu diri sendiri," bebernya.


Kesadaran literasi

Cita-cita besar lain dari Padepokan Nyai Surti adalah soal kebudayaan yang tidak cukup hanya visualisasi. Tapi wajib dibarengi dengan kesadaran literasi. Sebab akan menjadi percuma jika kegiatan kebudayaan tak diabadikan dalam tulisan.


Ia sendiri sudah rutin menulis di berbagai kolom di sejumlah media online dan majalah. Lewat ketelatenannya di dunia literasi kini ia berhasil menciptakan dua buku. Pertama, buku berjudul Mantra dari Langit. Kedua, Wasiat Nyai Surti, dalam buku itu ia berdialog dengan sosok fiktif Nyai Surti tentang interreligius.

 

Perpustakaan penggerak literasi di Padepokan Nyai Surti. (Foto: dok. NU Online)

 

"Buku Mantra dari Langit itu sebenarnya tulisan refleksi saya dari apa yang saya alami dan saya temui. Juga dikawinkan dengan literatur kepesantrenan yang selama ini saya ampu," terangnya.


Kemudian, pada buku Wasiat Nyai Surti sebagaimana telah disebutkan sosoknya yang berwatak keras sebenarnya bertujuan mengajak pembaca agar tak mudah terpengaruh dengan marah itu. Bahwa ada marah yang tidak berkonotasi negative, sebab tak semua yang halus baik dan tak semua yang marah itu jelek.


“Saya (sengaja) menyublimasi nilai dalam sosok kasar Nyai Surti dari 9 nilai Gus Dur. Mulai dari ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kekesatriaan, dan kearifan lokal,” pungkasnya.


Penulis: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad

 

Konten ini hasil kerja sama NU Online dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI