Nasional Nyai Badriyah Sebut RUU PKS Wujud Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Nyai Badriyah Sebut RUU PKS Wujud Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Sen, 7 Desember 2020 | 14:30 WIB

Nyai Badriyah Sebut RUU PKS Wujud Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Ketua Pengarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Nyai Hj Badriyah Fayumi. (Foto: NU Online/Rahman)

Jakarta, NU Online
Ketua Pengarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Nyai Hj Badriyah Fayumi menyebut Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sebagai wujud kemanusiaan yang adil dan beradab. Menurut pengasuh pesantren Mahasina, Kota Bekasi, Jawa Barat ini, hadirnya UU PKS dapat menjadi instrument merealisasikan kemanusiaan yang adil dan beradab tersebut berdasarkan Pancasila.


“RUU inilah yang bisa kita harapkan untuk mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab yang ditandai dengan semakin minimnya kekerasan seksual,” kata Nyai Hj Badriyah saat menjadi narasumber diskusi virtual bertajuk Selamatkan Perempuan dari Kekerasan Seksual, Senin (7/12) sore.


Menurut  tokoh Nahdlatul Ulama (NU) perempuan ini, hadirnya UU PKS dapat mengimplementasikan tauhid karena dalam persfektif agama bahwa sesuatu yang tidak sempurna tanpa adanya sesuatu yang lain,  maka keberadaan sesuatu yang lainitu wajib hukumnya.


“Maa la yutimul wajib illa bihi fahua waajibun (suatu kewajiban  tidak akan sempurna  kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib hukumnya,” katanya menukil kaidah usul fiqih.


Dikatakannya, agama telah menerangkan hal tersebut, maka pemerintah beserta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) wajib mengkaji dana mendorong  agar regulasi untuk menekan angka kekerasan seksual dapat dilaksanakan. Tidak hanya itu, jika kelak  RUU PKS disahkan,  dapat menjaga moralitas bangsa.


“Negara memiliki kewajiban, agama menegakkan tauhid dan moralitas di kalangan umatnya,” tuturnya.


Dia mendorong semua pihak dapat  terlibat, duduk bersama agar rencana pengesahan RUU PKS oleh DPR bisa cepat dilaksanakan. Namun, jika ada yang dianggap perlu untuk ditelaah baik dari unsur linguistik atau dari unsur teologinya, KUPI siap diikutsertakan.  


Untuk diketahui, RUU PKS sendiri saat ini ditunda dalam Program Legislasi Nasional (Proglegnas) tahun 2020. Tertundanya RUU ini menjadi keprihatinan banyak pihak terutama para aktivis perempuan. Mereka meyakini, jika belum ada regulasi yang ketat terkait perlindungan terhadap perempuan, maka kasus-kasus dapat meningkat tajam dan merugikan kaum perempuan di Indonesia.


Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI, Ella Siti Nurmayah menuturkan, pihaknya merasakan sebuah dilematis ketika ingin mendorong RUU PKS agar segera disahkan menjadi UU. Kata dia, penentu kebijakan ditunda atau dilanjutkannya RUU adalah kebijakan pimpinan yang harus dipatuhi.


Meski begitu ia meminta  agar masyarakat jangan terlalu khawatir. Sebab, DPR dan pemerintah telah berkomitmen untuk melindungi segenap anak bangsa. Atas dasar itulah, DPR dan pemerintah memasukan isu kekerasan seksual dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2025 dan program-program lain yang mendorong lahirnya perlindungan kepada perempuan Indonesia.


“Masalah ini juga menjadi landasan pembangunan berkelanjutan, visi Indonesia se-abad, landasan penghapusan diskriminasi lainnya. Perlindungan harkat martabat manusia juga keadialan bagi korban dan pelaku serta hak kosntitusi warga negara yang tertuang  dalam UUD 1945,” ungkap legislator Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini.


Sementara itu, PBNU dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes NU 2019 di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat itu mendukung disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dengan sejumlah catatan.  Di antaranya adalah  PBNU meminta adanya perubahan nama RUU itu menjadi RUU Pencegahan Kekerasan Seksual dengan alasan agar aspek preventif lebih menjadi perhatian.


Komisi Bahtsul Masail Diniyah Qanuniyah dalam Munas-Konbes NU tersebut,  juga menjelaskan lima belas jenis kekerasan dalam pandangan syariat, antara lain segala perbuatan yang dapat mengantar pada perbuatan zina, atau perbuatan fâhisyah (tabu), pandangan langsung baik terhadap lawan jenis atau sejenisnya tanpa perantara media dengan niat melecehkan, serta segala tindakan yang melampaui batas syariat.


Pewarta: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Aryudi A Razaq