Pontianak, NU Online
“Kuncinya adalah berlatih keras dan berguru kepada banyak orang,” aku Nursiah, qoriah nasional-internasional asal Pontianak, Kalimantan Barat, ketika ditanya kunci kesuksesannya dalam seni baca Al-Quran.
<>
Tak tangugung-tanggung, Nursiah mencapai reputasi tertinggi di bidang itu. Pada tahun 1969, ketika usianya 12 tahun, ia menggondol juara I pada MTQ Nasional tingkat kanak-kanak, di Bandung, Jawa Barat.
Pada tahun yang sama, ia mewakili Indonesia pada MTQ Internasional di Kuala Lumpur, Malaysia. Pada waktu itu, ia memperoleh juara kedua. Pada tahun 1973, ia menyabet juara pertama tingkat remaja, pada MTQ Nasional di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Kemudian 1975 pada MTQ Nasional di Palembang, Sumatera Selatan, ia kembali meraih juara I tingkat dewasa. Di tahun itu pula, puncaknya prestasinya ia genapkan dengan sebagai Juara I MTQ Internasional di Kula Lumpur.
Faktor lain, Nursiah ditunjang kemerduan suara dan kemahiran dalam membawakan variasi-variasi baca Al-Quran. Menurut Nursiah, hal itu diwariskan dari darah seni ayahnya yang juga menyukai seni tarik suara.
“Ayah saya memang orang seni. Dia salah seorang pemain gambus, senang nyanyi Melayu dan seni zapin Melayu. Dia orang seni sejak bujangan,” ujar Nursiah, menjelaskan profil ayahnya.
Masaa muda Nursiah juga sering menyanyi gambus dan kasidah grup Irhamni pimpinan Ahmad Mahmud. “Ibu masuk semua. Dangdut, pop juga bisa, kasidah apa lagi,” aku pengagum Umu Kultsum Mesir dan Nur Aisyah Jamil Sumatera Utara ini.
Tapi, lanjut penyuka lagu Ifroh ya Albi ini, menyanyi waktu itu hanyalah sampingan saja. Yang diutamakan adalah seni baca Al-Quran.
Kemerduan suaranya, meski menginjak usia 56 tahun, masih diakui sesama qoriah lain. “Bu Nursiah itu seangkatan saya di tahun 75, ketika saya ikut MTQ Nasional remaja. Suaranya sampai sekarang masih bagus. Qoriah-qoriah nasional yang saya ngefans itu, salah satunya Bu Nursiah,” aku Hj. Maslahah Zen, qoriah nasional asal Surabaya, Jawa Timur.
Hal itu dikuatkan pula oleh HM Tuwok, seorang qori asal Kalimantan Barat. “Meski sudah berumur, suaranya masih bagus,” terang Ketua Umum JQH NU Kalimantan Barat ini.
Karena itulah pada saat pembukaan MTQ Nasional VII, MTQ Nasional I dan Musyawarah Nasional IV JQH NU, ia didaulat mengumandangkan ayat-ayat suci al-Quran di hadapan ribuan orang, di stadion Sultan Syarif Abdurahman, Pontianak.
“Walaupun nafas sudah pendek, tapi kita masih bisa memainkan variasi-variasi lagu,” terang Nursiah.
Masa kecil susah
Nama lengkapnya Nursiah Ismail. Ia lahir 15 Agustus 1956 di Kampung Kapur, Desa Saigon, Kecamatan Pontianak Timur, Pontianak, Kalimantan Barat. “Letak kampung ibu di tepi sungai Kapuas,” tambahnya.
Seperti anak-anak lain di kampungnya, Nursiah bersekolah di sebuah SD, 1 km dari rumahnya. Setamat SD, melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah.
“Sewaktu di Tsanawiyah, tiap pagi ibu nyeberang sungai Kapuas, memakai sampan. Karena sering tak punya uang, ibu sering berhutang kepada tukang sampan. Kemudian setelah menumpuk, ayah membayarnya. Sempat sekolah di SMA, tapi tak tamat. Jadi nggak sempat kuliah,” jelasnya.
“Sekolah waktu itu susah, putus-putus. Memang udah keadaan begitu. Ibu juga tak bisa menyalahkan orang tua. Keadaan rumah itu adik ramai. Kita mau nuntut sekolah tinggi juga nggak bisa.
Nursiah mengaku, hal itu disebabkan biaya. Sebagai seniman di kampung, ayahnya tidak terlalu mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Sehingga ia nyambi juga sebagai seorang tukang bangunan. Tapi itu pun tidak mencukupi. Sementara ibunya adalah petani sawah.
“Ayah harus menghidupi 14 anak-anaknya. Ibu nomor 10. Kalau hidup semua ada 18 orang. Jangankan untuk beli baju, untuk makan pun susah. Banyak yang nggak lancarlah! Sekarang tinggal 6 bersaudara. Semua tinggal di Pontianak.”
Berguru kepada para ahli qori
Meskipun demikian, Nursiah tidak putus asa, kesenangan kepada seni suara, ia lampiaskan untuk belajar lebih giat kepada seorang qori terkenal, ahli tajwid di kampungnya, Ustad Fauzi Arsyad.
Fauzi Arsyad adalah qori nomor satu di Kalbar yang disegani KH Abdul Aziz Muslim, seorang qori di Tegal, Jawa Tengah. Selain kepadanya, ia juga berguru kepada ustadz Haji Ja’far Yahya, terkenal dalam bidang lagu. Ia sampai menguasai 14 lagu. Selain itu, ada ustadz H Abdul Rasyid Mahmud yang mengusai bidang fashohah.
“Ibu berguru juga kepada KH Abdul Aziz Muslim, Kiai Asyiri. Beliau-beliau itulah yang melatih kita tahun 1969 dan 1975. Pernah juga berguru kepada Syekh Azra’i Abdur Rauf Deli, Sumatera Utara. Pokoknya siapa pun kiai, qori, ibu datangi semua,” ujarnya.
Umur 18 tahun, Nursiah menikah dengan Drs H Nurdin Mikhrad yang bertugas di Departemen Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat. Meskipun demikian, kehausan menimba ilmu tidak kurang.
Ia masih menyempatkan belajar kepada juara I MTQ Nasional I KH Syahid di Cicalengka, Bandung, Jawa Barat.
“Ibu belajar kepadanya sampai setengah bulan. Bersama istrinya, pernah diajak beliau ke Cirebon untuk mengisi acara sama istrinya. Pokoknya di mana guru, dimana kiai, ibu datangi,”
Ia bersyukur karena suaminya sangat mendukung aktivitasnya itu. “Suami ibu itu, kemana pun ibu pergi, silakan. Asal tujuan baik. Tidak pernah menghalangi, Alhamdulillah.
Selain itu, ia sering bolak-balik Jakarta-Pontianak, misalnya untuk rekaman bersama qori-qoriah lain dan atau rekaman selawat.
“Muammar pernah ngajak rekaman. Pernah juga rekaman duet dengan Mawadah, Sarini Abdullah, Nur Aisyah Amin. Cuma beberapa tahun ini udah dapat cucu, susah mau berangkat,” ujar nenek dari lima cucu ini.
Karena aktivitasnya itu, pergaulannya menjadi luas. “Kalau ke Jakarta, ibu senang mampir di umi Sayidah Ahmad, bibinya Tuti Alawiyah. Sama Tuti Alawiyah juga akrab. Ia yang mendampingi ibu ke MTQ Internasional di Kuala Lumpur.”
Karena prestasinya itu, ia sering diundang ke luar negeri seperti Thailand, Kerajaan Brunei Darus Salam, Malaysia misalnya ke Serawak dan Kuching.
“Pernah mengajar qori-qoriah di Malaysia di Miri sampai setahunan. Tiga bulan, pulang. Tiga bulan, pulang. Pernah juga melatih di Batam, di Natuna hingga sekarang juga masih.
Hingga kini, aktivitasnya masih padat. Ia sering diundang menjadi dewan juri nasional, pendamping perwakilan dari Kalimantan Barat. Pembina di Jam’iyyatul Qurra wal-Huffaz Nahdlatul Ulama Kalimantan Barat, mengisi pengajian dan memimpin selawat di majelis-ta’lim ibu-ibu.
Kebanggaan Kalbar
“Wah, Umi Nursiah itu kebanggaan Kalbar, Mas. Bukan Kalbar saja, tapi nasional dan internasional juga,” aku Salbiyah, seorang murid yang sering mengikuti majelis ta’lim Nursiah.
Menurut Salbiyah, belum ada suaranya yang seperti Nursiah. “Dari Kalbar memang sudah ada yang mendapat juara, baik nasional maupun internasional, tapi belum ada yang suaranya seperti Umi,” tambahnya.
Selain itu, Salbiyah memuji pilihan Nursiah yang tidak meninggalkan Kalbar. Padahal ia sangat memungkinkan untuk itu.
Menurut Nursiah, hal itu disebabkan kecintaannya kepada Kalbar.“Saya menetap di sini karena masih tetap cinta dengan Kalbar. Banyak yang minta pindah ke Jakarta,” aku Nursiah yang dikaruniai dua putera, dua puteri.
Selain Salbiyah, pengagumnya adalah HM Tuwok, “Saya sejak kecil termotivasi hajah Nursiah Ismail. Ketika kecil, orang tua sering mendorong saya untuk seperti qoriah hajah Nursiah,” ujarnya.
Kepada generasi muda yang tertarik seni baca Al-Quran, Nursiah berpesan supaya belajar keras, dan banyak berguru kepada ahlinya.
Redaktur: Mukafi Niam
Penulis : Abdullah Alawi
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
3
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
4
Cerpen: Tirakat yang Gagal
5
Jamaah Haji Indonesia Diimbau Tak Buru-buru Thawaf Ifadhah, Kecuali Jamaah Kloter Awal
6
Jamaah Haji Indonesia Bersyukur Tuntaskan Fase Armuzna
Terkini
Lihat Semua