Nasional KEPUTUSAN MUKTAMAR

NU Tidak Larang Khitan Perempuan

NU Online  ·  Rabu, 23 Januari 2013 | 10:17 WIB

Jakarta, NU Online
Pendapat yang melarang khitan bagi perempuan, tidak memiliki dalil syar‘i. Pelarangan khitan perempuan itu lebih kepada didasarkan atas pertimbangan bahwa khitan itu menyakitkan perempuan.<>

Putusan tersebut merupakan hasil pembahasan Sidang Bahtsul Masa’il, BM Diniyah Maudlu‘iyyah pada Muktamar ke-32 NU di Makassar 2010 lalu.

Sidang BM yang dipimpin oleh Kiai Masyhuri Na‘im, Kiai Maghfur Usman, dan Kiai Afifuddin Muhajir, mendasarkan putusan tersebut pada kaidah ushul fikih yang berbunyi, “‘Adam al-dalil laisa bi dalil,” tidak adanya dalil bukan merupakan suatu dalil.

Adapun teknisnya menurut putusan sidang, “Khitan perempuan dilakukan dengan cara menghilangkan sebagian kecil kulit ari yang menutupi klitoris, bukan membuangnya sama sekali. Bahkan Rasulullah Saw. justru mengingatkan agar tidak berlebihan dalam memotong, sebagaimana terungkap dalam hadits Ummu ‘Athiyah al-Anshariyah, 

‘Dari Ummu ‘Athiyah al-Anshariyah, sungguh di Madinah ada seorang perempuan yang akan khitan. Lalu Nabi Saw. bersabda padanya, ‘Jangan kamu habiskan dalam memotongnya, sebab sungguh itu lebih menguntungkan wanita dan lebih menyenangkan suami,’ (HR. Abu Dawud.)”

Hasil sidang menyatakan, “Hadits tersebut memberikan pengertian dua hal. Pertama, berkhitan bagi perempuan dianjurkan, dan ini bagian dari hadits taqriri, mengingat Rasulullah Saw. tidak melarang tradisi orang Madinah, bahkan memberikan pengarahan cara melakukan khitan. Kedua, Rasulullah Saw. melegitimasi khitan perempuan, padahal kekhawatiran Beliau akan terjadinya malpraktek, sehingga akan menyebabkan frigid tampak jelas dalam hadits tersebut. Hal ini mengindikasikan hikmah dan manfaat dalam khitan lebih penting dibanding dengan kekhawatiran terjadinya malpraktek.”

Sehubungan dengan hukum khitan perempuan, hasil sidang menyatakan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai hukum khitan bagi perempuan. Sebagian ulama menghukumkan mubah. Sedangkan sebagian lain memutuskan bahwa hukum khitan perempuan bersifat sunah.

“Sedangkan menurut al-Syafi’i hukumnya wajib, seperti hukum khitan bagi laki-laki sebagaimana dikemukakan Imam Nawawi,” termaktub dalam laporan dan pembahasan hasil Sidang Bahtsul Masa’il Diniyah Maudlu‘iyyah yang disampaikan pada sidang Pleno VII Muktamar ke-32 NU, (27/3) 2010.

Khitan perempuan merupakan satu dari sekian persoalan yang dibahas Sidang Bahtsul Masail Diniyah Maudlu‘iyyah dalam Muktamar ke-32 NU di Asrama Haji Sudiang Makasar 6-13 Rabiul Akhir 1431 H, (22-29/3) 2010.

Materi sidang dirumuskan oleh Kiai Masyhuri Na‘im, ketua perumus, Kiai Arwani Faishal, sekretaris perumus, dan sejumlah anggota. Bahtsul Masail ini diatur dalam keputusan Muktamar ke-32 NU dengan nomor: IV/MNU-32/III/2010.

Mereka yang terlibat sebagai anggota adalah Kiai Romadlon Chotib (PBNU), Kiai Muhibbul Aman Aly (PWNU Jatim), Abdul Jalil (PWNU Jateng), Kiai Imam Syuhada’ (PBNU), Muhammad Harfin Zuhdi (PBNU), Mahbub Ma’afi Ramdlan (PBNU), Fuad Tohari (PBNU), Kiai Zainuddin Abdullah (PWNU Banten), Rumadi (PBNU), Hj. Faizah Ali Sibramalisi (PBNU), dan Hj. Fauziah Masyhari (PP. Fatayat NU).   

 

Redaktur: Mukafi Niam
Penulis   : Alhafiz Kurniawan