Nasional

Milenial Jangan Setengah Hati Lawan Terorisme

Kam, 12 Desember 2019 | 23:00 WIB

Milenial Jangan Setengah Hati Lawan Terorisme

Para narasumber dalam kegiatan Dialog Kebangsaan di Salah satu Rumah Makan di Jakarta Pusat, Kamis (12/12) sore. (Foto: NU Online/Rahman)

Jakarta, NU Online

Anggota Pengurus Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) KH Misbachul Munir Cholil menginginkan kejelasan sikap kaum milenial dalam melawan radikalisme. Menurutnya, kelompok muda tidak boleh lengah, harus mempertegas sikap apa yang akan dilakunan dalam merespon angka radikalisme yang terus mengalami peningkatan.

 

Ia menyebut, Indonesia hampir setiap tahun terjadi peristiwa teror yang berdampak buruk terhadap masyarakat yang tak berdosa. Terorisme memang bukan terkait dengan agama tetapi hampir semua pelaku teror ber-KTP Islam dan mengatasnamakan agama.

 

“Maka hari ini kita harus tegas dalam menangkal radikalisme, jangan abu-abu. Biar segera ketemu mana ini dalangnya,” kata Kiai Misbach saat menjadi narasumber dalam kegiatan Dialog Kebangsaan di Salah satu Rumah Makan di Jakarta Pusat, Kamis (12/12) sore.

 

Kiai Misbach mengungkapkan, radikalisme agama sangat mungkin tumbuh di masjid-masjid karena kelompok tersebut kerap menjadikan masjid sebagai tempat menyampaikan narasi negatif kepada kelompok tertentu. Karena itu, seharusnya masyarakat sadar bahwa lahirnya kebijakan pemerintah untuk memantau khatib di masjid agar materi dakwahnya tidak memiliki unsur radikal.

 

“Harusnya dakwah itu yang sejuk, yang ramah. Kalangan anak muda harus paham ini, dakwah Islam itu mendorong agar orang bersikap tenang bukan malah menjadi beringas,” tuturnya.

 

Sementara itu, Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dianta Sebayang mengatakan masyarakat Indonesia berpotensi menjadi teroris jika tidak memiliki akidah yang kuat. Terutama aqidah Islam yang menjurus pada nilai ajaran tawashutiyah.

 

Banyaknya masyarakat miskin, katanya, juga menjadi pemicu warga Indonesia mau menjadi teroris. Untuk itu pemerintah perlu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan di masyarakat sehingga ketakutan tersebut tak muncul.

 

“Paling banyak berpotensi menjadi teroris adalah pengangguran dan pekerja dengan penghasilan minimal. Mereka banyak yang terindikasi radikal adalah dari pekerja jasa atau kasar. Buktinya tidak ada Dirut (direktur utama) yang melakukan bom bunuh diri, tidak ada pelaku bom yang memiliki rumah di pondok indah. Kebanyak mereka hanya ngontrak dari satu tempat ke tempat lain,” tuturnya.

 

Kontributor: Abdul Rahman Ahdori

Editor: Aryudi AR