Depok, NU Online
Perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah lainnya sudah tak lagi dapat dihindarkan mengingat populasi manusia yang terus meningkat. Hal ini, menurut Pembina Yayasan Inklusif Ahmad Suaedy, merupakan tantang paling berat saat ini.
"Tantangan paling berat adalah migrasi," katanya saat mengakhiri diskusi yang diinisiasi oleh Yayasan Inklusif bekerja sama dengan Sekalilagi.id dan Gusdurian di Pondok Laras, Depok, Sabtu (30/6).
Sebab, katanya, migrasi itu tidak sekadar raga manusianya yang berpindah, melainkan seluruh yang ada dalam dirinya, termasuk ideologi dan pandangannya juga turut beralih. "Bukan hanya perpindahan manusianya, tetapi juga ideologinya, pandangannya," ujarnya.
Hal ini pun disinggung oleh Pipit Aidul Fitirana dari Maarif Institute. Melihat fenomena tersebut, ia mengingatkan pentingnya data. "Kita butuh database yang kuat," ujarnya.
Selain itu, pendampingan juga menjadi hal yang tak boleh ditinggalkan. Hal ini pernah ia lakukan bersama rekan-rekannya di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) di kota kelahirannya, Garut.
Mereka masuk ke sekolah-sekolah umum untuk membantu mengajari baca tulis Al-Qur'an. Kampanye juga, menurutnya, harus dilakukan guna mengenalkan Islam yang diyakini.
Menjalin kesepahaman dengan pemangku kepentingan juga harus diupayakan. Sebab, ada dua jalur yang harus ditempuh, yakni jalur kultural dan struktural.
"Selain cara kultural, secara struktural juga harus dilakukan," ujarnya dalam diskusi yang dipandu oleh Gamal Ferdhi itu.
Hal ini juga yang dibicarakan oleh Muhammad Subhi Azhari. Ia menyebutkan bahwa struktural menjadi salah satu faktor maraknya intoleransi. "Pembiaran terhadap tindakan intoleran dari negara, proses hukumnya jarang sekali," kata Presidium Gusdurian itu.
Ia memberikan contoh penyerangan terhadap kelompok Ahmadiah yang kembali terjadi di Nusa Tenggara Barat. Sampai saat ini, belum ada penetapan status tersangka. Padahal kasus tersebut sudah berlalu beberapa minggu.
Hal tersebut menurutnya, disebabkan oleh minimnya pertemuan di antara berbagai kelompok. "Perjumpaan antarkelompok beragama itu jarang. Padahal itu menjadi dasar untuk mengenal keterbukaan," jelasnya.
Sementara itu, Savic Ali menyatakan bahwa Islam tidak ditutupi dengan pagar. Artinya, Islam itu inklusif. Jika Islam terus dipagari seperti yang dilakukan oleh kelompok tertentu itu, maka secara tidak sadar ada tembok yang berdiri kokoh membatasi dirinya dengan tetangga.
"Tanpa disadari kita sudah punya tembok psikologis sama tetangga," kata Direktur NU Online itu.
Diskusi yang mengangkat tema "Menyuarakan Islam Toleran dan Damai" itu dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat dengan latar belakang agama dan kelompok berbeda. (Syakir NF/Muiz)