Mengintip Hilal Muda dari Yogyakarta
NU Online · Jumat, 22 Juni 2012 | 22:17 WIB
Rabu (20/6) sore kemarin beberapa orang berkumpul di Pantai Parang Kusumo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta untuk melaksanakan observasi Hilal bulan Sya’ban 1433 H. Mereka terdiri dari beberapa elemen masyarakat, di antaranya Lajnah Falakiyah PWNU DIY, Rukyatul Hilal Indonesia (RHI), Kemenag Provinsi DIY, Mahasiswa Fakultas Agama Islam UII Yogyakarta, dan Jogja Astronomy Club (JAC).<>
Persiapan observasi Hilal dimulai sejak pukul 16:45 WIB dengan menggunakan alat-alat pendukung seperti teleskop, teodolit, gawang lokasi, laptop ber-software Starrynight Pro Plus 6, kamera DSLR, dan lain-lain.
Data hisab pada Rabu (20/6/2012), 29 Rajab 1433 H, dengan lokasi Parangkusumo Yogyakarta, menunjukkan Matahari terbenam pada pukul 17:31 WIB dengan azimuth Matahari 293d 33m dan Hilal terletak di azimuth 291d 58m dengan ketinggian 7d 42m, dan Hilal akan terbenam pada pukul 18:09 WIB.
Meskipun selama 30 menit lebih dilakukan pengamatan, tetapi para peru’yah (observers Hilal) tidak ada yang berhasil melihat Hilal. Hal ini disebabkan oleh mendung tebal yang menyelimuti ufuk Barat, bahkan akibat mendung ini Matahari terbenam pun tidak dapat dilihat.
Kegiatan observasi Hilal ini sendiri memang sangat bergantung pada kondisi atmosfer lokal, dalam artian cuaca setempat cukup mempengaruhi berhasil atau tidaknya Hilal untuk dapat diru’yah. Jika di ufuk barat langitnya cerah dan bebas dari gumpalan awan (syafaq) maka akan mendukung keberhasilan pengamatan, namun jika yang terjadi adalah sebaliknya maka akan mengganggu pengamatan.
Hasil dari pengamatan Hilal ini jika dilaksanakan terus menerus dalam jangka waktu yang lama, maka akan sangat membantu dalam pengumpulan database visibilitas Hilal. Dengan demikian, perkembangan ilmu hisab pun dengan sendirinya akan turut berkembang, karena pada prinsipnya formulasi-formulasi di dalam ilmu hisab itu dibangun dari data hasil pengamatan dalam jangka waktu ratusan tahun yang kemudian diolah secara saintifik (ilmiah). Oleh karena itu, ru’yah harus tetap dilaksanakan dalam segala macam cuaca dan keadaan.
Setelah tidak berhasil melihat Hilal, teleskop pun kemudian diarahkan ke arah benda langit yang tampak pada saat itu, yaitu planet Saturnus. Hal ini dilakukan untuk memberi pembelajaran kepada peserta ru’yah bahwa kegiatan ru’yah itu juga memiliki dimensi pembelajaran sains.
Jika gagal dalam melihat Hilal, bukan berarti kemudian sia-sia dan tidak mendapatkan apa-apa, namun ada aspek lain yang bisa diperoleh, misalnya bisa digunakan untuk mencocokkan akurasi hasil hisab (perhitungan) terbenamnya Matahari dengan fakta di lapangan, melihat fenomena alam lain selain Bulan dan Matahari seperti planet-planet atau bintang-bintang, dan masih banyak lagi.
Kegiatan observasi diakhiri pada pukul 18:20 WIB dengan terlebih dahulu melakukan doa bersama atas wafatnya salah seorang ahli falak terkemuka Indonesia, yaitu KH. Noor Ahmad, SS dari Jepara.
Redaktur: A. Khoirul Anam
Penulis : Haryono
Terpopuler
1
40 Hari Wafat Gus Alam, KH Said Aqil Siroj: Pesantren Harus Tetap Hidup!
2
Mendaki Puncak Jabal Nur, Napak Tilas Kanjeng Nabi di Gua Hira
3
Waktu Terbaik untuk Resepsi Pernikahan menurut Islam
4
Mulai Agustus, PBNU dan BGN Realisasikan Program MBG di Pesantren
5
Terima Dubes Afghanistan, PBNU Siap Beri Beasiswa bagi Mahasiswa yang Ingin Studi di Indonesia
6
Eskalasi Konflik Iran-Israel, Saling Serang Titik Vital di Berbagai Wilayah
Terkini
Lihat Semua