Nasional

Membayangkan Pahlawan dan Sejarah dalam Permainan Digital

Kam, 8 November 2018 | 01:30 WIB

Membayangkan Pahlawan dan Sejarah dalam Permainan Digital

Ilustrasi Anak Bermain Video Game. (Foto. dream)

Jakarta, NU Online
Tak sedikit generasi muda saat ini yang gandrung akan gim (game), permainan digital. Kelihaiannya menggerakkan tokoh dalam permainan tersebut bahkan bisa mendatangkan pendapatan tersendiri bagi mereka.

Johan Wahyudi, sejarahwan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melihat adanya peluang untuk memasukkan sejarah ke dalam gim sebagai jalan tengah agar sejarah masa lalu dengan masa kini dan yang akan datang itu tidak terus bertolak belakang.

“Semuanya ini bertolak dari revolusi digital,” katanya saat ditemui NU Online di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (7/11).

Sejarah yang terkesan menjemukan itu, menurutnya, perlu dikenalkan dengan gaya yang lebih kekinian. Bahkan, kalau bisa, lanjutnya, dapat menimbulkan ketagihan di benak generasi muda itu.

Ia membayangkan jika gim Age of Empire latarnya merupakan keraton-keraton Nusantara dengan tokoh-tokoh, senjata, dan hal lainnya sebagai perangkat permainan tersebut. Hal ini, menurutnya, bisa menjadi bayangan awal mereka dalam mengenal sejarah.

Pria yang dulunya gemar bermain gim ini juga mengimajinasikan sebuah gim petualangan yang antartingkatannya (stage) itu merupakan bagian dari kronologis peristiwa sejarah. Misal, gim terdiri dari 10 tingkatan. Kronologi tingkatannya dari zaman prasejarah, Kerajaan Hindu Budha, Kerajaan Islam, Masa Perjuangan Kemerdekaan, dan Pascamerdeka. Masing-masing level itu terdiri dari dua bagian.

Johan juga berfantasi bagaimana Hanoman dapat memasuki kerajaan yang dijaga ketat oleh pasukan pengamannya. Nanti di sana diberi pilihan senjata untuk memasuki wilayah tersebut, dengan tipu daya kah, atau maju sendiri melawan prajurit yang berjaga dengan mengandalkan senjata yang sudah dimiliki oleh sang pemain.

Lebih dari itu, Pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta ini juga tidak saja melihat secara substansi kesejarahannya, tetapi juga ada nilai ekonomisnya yang bisa mendatangkan untung bagi pelaku industri dan pemain gim itu sendiri. Hal itu bisa didapatkan dengan penjualan senjata, cakar misalnya untuk tokoh Hanoman. Atau, peta wilayah yang bakal menjadi bidikan petualangan selanjutnya yang harus dibeli.

Selanjutnya, mengingat generasi muda kini juga gemar membuat suatu perkumpulan, pembuat gim juga, menurutnya, perlu membuat pertemuan bagi para pemain gim tersebut. Di situlah, katanya, kesempatan pembuat gim itu mengenalkan siapa sebenarnya tokoh dan sejarah latarnya.

Dengan adanya permainan digital itu, Johan yakin generasi muda dapat lebih mengenal tokoh pahlawan dan sejarahnya. Selama ini, ia baru melihat adanya gim Perang Diponegoro yang betul-betul asli kepahlawanan. Gim itu pun baru meraup 100 ribu unduhan dari sejak dirilis pada 2015 lalu dan diperbaharui pada 5 Desember 2017.  Hal ini, tentu sangat jauh jika disbanding dengan permainan serupa lainnya, seperti Mobile Legend yang sudah diunduh oleh lebih dari 100 juta pengguna dan Age of Empires versi ponsel pintar yang lebih dari satu juta unduhan.

Simbiosis Mutualisme
Gim berlatar sejarah ini, menurut Johan, memberikan simbiosis mutualisme di antara tiga pihak sekaligus yang terlibat, yakni akademisi, pelaku usaha, dan generasi muda.

Akademisi dapat menjadi konsultan pembuatan gim guna memberikan gambaran sejarah kepada pembuat gim (pelaku usaha) dalam memberikan deskripsi rinci perihal latar, tokoh, dan perangkat lainnya. Sementara pelaku usaha mendapatkan untung melalui unduhan, penjualan perangkat permaianan, dan sebagainya. Adapun pemain mendapatkan dua keuntungan, yakni pengetahuan kesejarahan dan hiburan sekaligus. (Syakir NF/Zunus)