Nasional MODERASI BERAGAMA

Masyarakat Muslim-Kristen Hidup Berdampingan di Kampung Sawah Bekasi

Sel, 16 November 2021 | 13:45 WIB

Masyarakat Muslim-Kristen Hidup Berdampingan di Kampung Sawah Bekasi

Kerukunan antarumat beragama di Kampung Sawah, Bekasi, Jawa Barat. (Foto: dok. istimewa)

Pada 16 November 2021, masyarakat dunia memperingati Hari Toleransi Internasional. Peringatan ini bermula pada 16 November 1995, negara-negara anggota UNESCO mengadopsi Deklarasi Prinsip-prinsip tentang toleransi. 


Para pimpinan negara yang menjadi anggota UNESCO itu berpandangan, toleransi merupakan cara untuk menghindari ketidakpedulian dalam kehidupan bermasyarakat. Karena hasil deklarasi itu, pada 16 November 1996 kemudian ditetapkan sebagai Hari Toleransi Internasional. 


Praktik toleransi kemudian hidup di seluruh belahan dunia. Tak terkecuali di wilayah Kampung Sawah, Kecamatan Pondokmelati, Kota Bekasi. Letaknya di sebelah tenggara berbatasan dengan DKI Jakarta. Di sana terdapat tiga rumah ibadah yang berdiri secara berdampingan. 


Secara berurutan, para pengendara dari arah Jatiasih akan melihat bangunan Gereja Katolik Santo Servatius yang berjarak 160 meter dengan Masjid Agung Al-Jauhar Yayasan Fisabilillah. Di tengah-tengah antara kedua rumah ibadah itu, terdapat Gereja Kristen Pasundan (GKP) Kampung Sawah. 


GKP Kampung Sawah berdiri sejak 1874 dengan nama awal Gereja Immanuel. GKP sendiri baru melembaga pada 1934. Disusul oleh Gereja Katolik Santo Servatius pada 1895 dan Yayasan Fisabilillah (Yasfi) pada 1977. Sementara Masjid Agung Al-Jauhar sendiri baru dibangun pada 1984 di atas tanah wakaf. Tiga tahun setelah itu, didirikanlah satuan pendidikan mulai TK hingga SMA dan pesantren bagi anak-anak yatim. 


Bunyi lonceng gereja penanda waktu misa kebaktian pada siang dan sore hari, terkadang bersautan dengan suara lantunan ayat suci Al-Qur’an dari Masjid Al-Jauhar sebelum masuk waktu adzan. Masyarakat sekitar sudah tidak asing lagi dengan suara-suara keagamaan yang hadir di setiap saat kehidupan mereka. 


Toleransi dan kerukunan di Kampung Sawah ini berjalan secara naluriah melalui ikatan darah. Tercipta karena proses perkawinan silang antara masing-masing penganut agama yang berbeda. 


“Toleransi di Kampung Sawah sudah berjalan lama memang. Dari mulai nenek-kakek kita lah. Jadi, prosesnya memang terjadi secara alamiah,” kata Gus Sholahudin Malik, putra Pendiri Yasfi dan Imam Besar Masjid Agung Al-Jauhar KH Rachmadin Afif, kepada NU Online, Senin (15/11/2021).


Dulu, masyarakat menganggap bahwa agama hanya untuk kebutuhan administrasi agar tercatat oleh negara. Lalu mereka saling memiliki ketertarikan kepada lawan jenis sampai melakukan pernikahan. Upacara pernikahan dilangsungkan dengan tradisi keagamaan satu agama. Setelah menikah, pasangan suami istri tetap menjalankan ibadah sebagaimana agamanya masing-masing.


“Jadi itu salah satunya tercipta persaudaraan melalui proses kawin-mawin. Tetapi yang unik di Kampung Sawah tidak sebatas itu saja,” terang Gus Malik, sapaan akrabnya. 


Masyarakat di sana bersifat paternalistik. Peran para tetua, tokoh masyarakat, dan tokoh agama sangat penting untuk mampu menyerukan kesejukan dalam menjaga toleransi. Ulama, kiai, ustadz, pastor, dan pendeta tak henti-henti memberikan pemahaman kepada umat betapa pentingnya menjaga toleransi dan hidup rukun di Kampung Sawah. 


Kalau para pemimpin agama sudah memberikan imbauan dan seruan, maka masyarakat akan secara otomatis mematuhinya. Tak hanya itu, masyarakat juga akan dengan sangat mudah meniru berbagai keteladanan yang telah dilakukan para pemimpin agama. 


“Jadi penting itu (teladan toleransi) buat kita di Indonesia, termasuk di Kampung Sawah, dilakukan oleh tokoh-tokoh agama. Karena kalau di atas tidak rukun, di bawah akan lebih parah lagi,” katanya. 


Kalimatun sawa atau titik temu juga sering dikemukakan oleh pemimpin Islam di sana untuk dapat menciptakan kehidupan yang harmoni. Meski secara teologi atau akidah berbeda, tetapi hal itu bukan suatu alasan untuk menjauhkan masyarakat. 


“Jadi ada satu titik temu di antara wilayah-wilayah yang berbeda. Di luar akidah itu ada potensi sosial, lingkungan hidup, perayaan kegiatan-kegiatan seperti Agustusan, yang itu bisa dijadikan sebagai media untuk menyatukan di luar perbedaan yang ada di tingkat teologi,” katanya. 


Masyarakat yang saling berbeda agama itu dapat dipersatukan melalui budaya. Orang tua terdahulu di sana memiliki tradisi ‘Ngerantang’ atau kearifan lokal dengan saling membawa rantang setiap perayaan Lebaran Idul Fitri, Hari Raya Natal, Lebaran Betawi, Sedekah Bumi, dan Ucap Syukur Tahunan.  


“Jadi suka bawa rantang ke yang lebih tua walaupun beda agama. Termasuk juga pastor dan pendeta suka bawa ke Abah (KH Rachmadin Afif). Beliau nanti pas natal dan tahun baru membawa sesuatu. Budaya rantang itu salah satu media yang alamiah, karena tidak didesain alias apa adanya. Itu merukunkan. Kalau ada yang sakit, kita juga tidak melihat agamanya, kita tetap takziyah. Siapa pun mau Kristen atau Islam. Jadi memang indah sekali,” terangnya. 


Praktik toleransi di Kampung Sawah hingga kini masih berjalan. Namun tantangan dan ancaman tak bisa dipungkiri, datang seiring perubahan zaman. Meski begitu, Gus Malik bersama Forum Nasional Bhinneka Tunggal Ika di Kampung Sawah tetap melakukan berbagai upaya agar anak-anak muda dapat terus melanjutkan warisan toleransi dan kerukunan itu. 


“Mungkin di tingkat orang tua, toleransi sudah selesai. Tetapi di tataran anak muda, belum tentu. Apalagi tantangannya besar, di media sosial. Ketika berita-berita hoaks, cerita-cerita intoleran masuk ke handphone mereka langsung, siapa yang bisa menolong dan memfilter berita-berita itu? Maka kita putar otak mencarikan solusi,” tutur Gus Malik. 


Berbagai kegiatan dibuat. Salah satunya membuat Kemah Kebangsaan yang diadakan pada 28 Oktober 2019, bertepatan dengan Peringatan Hari Sumpah Pemuda. Anak-anak muda dari Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dikumpulkan di Villa Yasfi yang terletak di Jatiasih, sekitar 10 menit waktu tempuh dari Masjid Al-Jauhar di Kampung Sawah.  


“Kita kumpulkan, kemudian kita masukkan (pemahaman) tentang cinta tanah air, lingkungan hidup, juga memberikan masukan supaya mereka tidak terpapar intoleransi dan radikalisme. Itu yang menjadi perhatian kita buat anak-anak muda. Rencananya tahun ini mau diadakan lagi tetapi pandemi belum selesai. Tahun depan kita akan mulai lagi untuk Kemah Kebangsaan kedua,” katanya. 


Mundur ke belakang, pada 2012, digelar Silaturahmi Kebangsaan. Ini menjadi cikal-bakal Ngeriung Bareng, sebuah kegiatan lintas-agama di Kampung Sawah. Pada kesempatan itu, hadir KH Nuril Arifin (Gus Nuril), Menteri Lingkungan Hidup Era Presiden Gus Dur Alexander Sonny Keraf, KH Rachmadin Afif, dan Arswendo Atmowiloto. 


Lalu pada 2018, Silaturahmi Kebangsaan kembali digelar di Sekretariat Fornas Bhinneka Tunggal Ika, di Kelurahan Jatimurni, Pondokmelati. Semua tokoh agama seperti pendeta, pastor, dan kiai diundang. Tak ketinggalan, anak-anak muda dan masyarakat pun dilibatkan.


“Itu cara kita untuk menjaga artinya merawat. Bagaimana pun kalau tidak dirawat akan rusak,” tegas Gus Malik. 


Senada, Pendeta GKP Kampung Sawah William Alexander mengatakan bahwa praktik toleransi di tataran lembaga keagamaan di sana sudah selesai. Di antaranya dengan berbagi ruang parkir saat Idul Fitri dan Hari Raya Natal.


“Lalu saling sowan. Itu memang terjadi. Pak Kiai (Rachmadin Afif, ayah Gus Malik) juga sowan ke sini kalau Natalan. Yang Katolik juga sama, sering sowan,” kata Pendeta William. 


Pendatang di Kampung Sawah

Pendeta William mengatakan, ancaman dan tantangan muncul saat para pendatang mulai bermunculan. Mereka memanfaatkan sikap keterbukaan masyarakat Kampung Sawah dengan membuat rumah-rumah ibadah yang baru. 


“Mereka datang bikin mushala dan gereja, tetapi khutbah atau dakwahnya provokatif. Karena di sini orangnya selalu segan atau tidak enakan, makanya selalu kalau ada hal itu mengadu ke tokoh agama,” terang Pendeta William.


Warga yang beragama Islam ketika mendengar khutbah Kristen yang provokatif, maka tak segan-segan untuk langsung melapor ke pendeta. Begitu pula umat Kristen saat mendengar dakwah atau ceramah Islam yang provokatif dan langsung melapor ke Kiai Rachmadin Afif. 


“Jadi para pendatang it uke sini dan rumah bisa dijadikan gereja. Jadi di Kristen juga ada yang radikal. Ada juga misalnya yang Kristen motong anjing sembarangan, kepalanya dibuang sembarangan. Di tataran itulah, tokoh agama menjalankan fungsinya di sini dan saling berkoordinasi,” terangnya.

 
Meski warga pribumi hingga kini masih menjaga toleransi, tetapi pekerjaan rumah yang harus diperhatikan saat ini adalah mewarisi nilai-nilai kebaikan itu kepada anak-anak muda zaman sekarang. 


Sama seperti Gus Malik, Pendeta William juga menuturkan bahwa toleransi hingga ke akar rumput pada generasi awal di Kampung Sawah dapat berjalan secara naluriah. Saat ada warga yang meninggal, warga Kristen dan Islam bergotong-royong membangun tenda dan menggali kubur. 


Begitu pula saat ada keriaan atau perayaan hari-hari besar keagamaan. Jemaat Kristen dan umat Islam saling bantu. Para ibu memasak makanan sementara bapak-bapak bertugas memasng tenda dan menata bangku. 


“Hanya, ketika sampai ke generasi keempat dan kelima sekarang, anak-anak muda agak sulit karena sudah banyak yang merantau. Kerja di Jakarta. Berangkat pagi pulang malam. Jadi untuk interaksi, kurang,” katanya.


Dulu, permukiman warga masih didominasi oleh kebun dan sawah. Ketika ada yang membutuhkan sesuatu, tinggal meminta bantuan kepada tetangganya yang didapat dari hasil perkebunan sendiri.


“Kalau sekarang kebun-kebun sudah jadi perumahan semua. Itu juga faktor yang memang jadi penghambat. Banyak orang pendatang, penyesuaian lagi. Para tokoh agama, punya komitmen untuk menyuarakan toleransi dan saling tolong-menolong,” terang Pendeta William. 


Namun, banyaknya pendatang dari luar daerah Kampung Sawah menjadikan toleransi agak susah tercipta di era sekarang ini. Terutama di protestan sendiri yang sudah memiliki banyak denomisasi kelembagaan, seperti GKJ, GBI, dan GKI. 


“Data 2017, ada 32 gereja di satu Kecamatan Pondokmelati. Itu gereja resmi. Itu karena orang-orang di sini cukup cuek, yang penting beribadah, dan ibadah dipandang baik maka dibiarkan untuk membangun gedung gereja. Mushala saja ada banyak,” katanya. 


Tradisi kebetawian

Terdapat beberapa tradisi kebetawian yang hingga kini masih dilestarikan. Di antaranya baju koko adat Betawi yang dipakai dalam beberapa acara misa di Gereja Katolik Servatius. Sementara tradisi mengaduk dodol saat ini sudah mulai agak mengendur. 


“Kalau dulu kan (ngaduk dodol) jadi keseharian. Kalau keriaan misalnya Idul Fitri, orang pada ngaduk dodol yang muslim puasa, orang Kristen yang mengaduk. Kalau Natalan, yang Kristen menyiapkan kebaktian sementara yang Muslim bantu mengaduk dodol,” katanya. 


Lantaran mengaduk dodol itu membutuhkan biaya mahal dan banyak tenaga, ditambah kesibukan generasi muda saat ini maka sudah tidak bisa dilakukan lagi. Tetapi tradisi mengaduk dodol masih dilakukan di acara-acara tertentu sebagai pengingat budaya gotong-royong di Kampung Sawah. 


“Event-event itu seperti Lebaran Betawi. Kalau Muslim kan bikin lebaran Betawi. Di Katolik bikin Sedekah Bumi. Di GKP Kampung Sawah bikin ucap syukur tahunan,” terangnya. 


Sementara tradisi-tradisi Betawi di Kampung Sawah saat ini kembali dihidupkan melalui Sanggar Seni Sasak Djikin di Kelurahan Jatimurni. Di sana, anak-anak muda diperkenalkan dan dilatih pencak silat, alat musik tanjidor, serta tradisi palang pintu.


Harapan Toleransi di Kampung Sawah

Pendeta William berharap, masyarakat pendatang bersama-sama dengan warga pribumi Kampung Sawah dapat menghidupkan toleransi secara sadar dan alamiah seperti para tetua terdahulu. Di sana ada istilah, barangsiapa sudah meminum air, mengonsumsi makanan, dan hidup di tanah Kampung Sawah maka wajib untuk menjaga toleransi. 


Dari sisi kelembagaan seperti Yasfi, GKP Kampung Sawah, dan Gereja Katolik Santo Servatius dalam waktu dekat ini, diharapkan dapat memunculkan kerja sama yang nyata. William mengatakan, pihaknya telah merancang rencana strategis mulai tahun depan. 


“Kemarin kita bikin kelompok kerja (pokja) untuk rencana strategis mulai tahun depan, untuk menjalin relasi yang memang utuh dan masuk dalam program kerja kita untuk membangun kerja sama dengan Katolik dan Islam seperti live in bersama,” katanya.


Program live in (tinggal bersama) selama beberapa hari itu akan dibuat dengan tujuan agar anak-anak Kampung Sawah saat ini tidak hanya mengenal agama secara permukaan, tetapi dapat memahami kehidupan dan kebiasaan, serta hal-hal yang dijalani termasuk dalam peribadahannya. 


“Harapannya itu akan memunculkan sikap toleransi dan kerukunan di antara kalangan muda,” pungkas Pendeta William.


Penulis: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad

 

Konten ini hasil kerja sama NU Online dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI