Nasional

Puslitbang Lektur Keagamaan: Manuskrip Sumber Sejarah dan Kearifan Sebuah Bangsa

Ahad, 8 Desember 2019 | 19:30 WIB

Puslitbang Lektur Keagamaan: Manuskrip Sumber Sejarah dan Kearifan Sebuah Bangsa

Kepala Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia Muhammad Zain (Foto: NU Online/Abdullah Alawi)

Depok, NU Online 
Kepala Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia Muhammad Zain menegaskan manuskrip sangat penting untuk diinventarisasi, dikaji isinya, dan kemudian dipublikasikan ke khalayak umum. 

“Bagi saya manuskrip adalah sumber penulisan sejarah, sumber kearifan sosial, bahkan infrastruktur budaya, kalau kita ingin lebih arif, sering-seringlah membaca manuskrip,” katanya saat membuka Seminar Hasil Eksplorasi Naskah KlasikKeagamaan Nusantara di Hotel Santika, Depok, Jawa Barat, Ahad (8/12) malam.

Muhammad Zain menjelaskan, saat ini, manuskrip yang dikumpulkan Kemenag dari berbagai daerah di Indonesia mencapai 6 ribu lebih. Jika ditambah dengan mushaf Al-Qur’an, akan lebih banyak lagi. Pihaknya telah mengumpulkkan 350 mushaf Al-Qur’an. 

Menurut dia, naskah-naskah tersebut merupakan sumber sejarah untuk melengkapi sejarah yang sudah ada, bahkan bisa digunakan untuk merekonstruksi sejarah yang sudah ada. Jangankan dari isi sebuah manuskrip, dari ornamennya saja bisa menjadi penanda sejarah. 

“Mushaf Al-Qur’an bisa menjadi penanda sejarah,”  kata pria asal Sulawesi Selatan ini. 

Seorang ulama yang menyebarkan agama Islam, datang ke sebuah tempat biasanya dengan membawa mushaf Al-Qur’an. Nah, dari kemasan mushaf tersebut bisa diteliti berasal dari mana  dan pada zaman apa. 

“Bisa merkeontruksi sejarah dari mushaf AL-Qur’an, diteliti mulai dari ornamen, dan gaya kaligrafinya,” katanya.  

Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa manuskrip juga menyimpan kekayaan intelektual sebuah bangsa, mulai dari teknik pengobatan, ilmu tentang gempa bumi, toleransi beragama, dan hubungan antarbangsa. 

“Catatan Ibnu Batutah ke Aceh, tahun 1345. Ia bercerita, bahwa di negara yang dikunjunginya ada seorang raja, Malikuz Zhahir, seorang raja yang berjalan kaki dari istana ke masjid. Kalau ada tamu, tamunya berada di kursi sementara dia duduk di atas tanah,” katanya.

Menurut dia, catatan semacam itu penting sebagai pengetahuan bahwa di negara kita pernah memiliki raja model seperti itu. 

“Manuskrip juga bisa menjadi infrastruktur budaya, infrastruktur kearifan lokal. Untuk itu, setelah dikumpulkan, kita harus mencari tahu, isinya apa? Semangat untuk menyelamatkan sudah ada, mengoleksi, sekarang manuskrip sebagai bahan kajian dan memanfaatkannya untuk generasi kita,” pungkasnya. 
 

Pewarta: Abdullah Alawi
Editor: Alhafiz Kurniawan