Bandung, NU Online
Lewat tengah malam Selasa (27/2), saat bedah buku Kontroversi Dalil-dalil Khilafah yang digelar Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PW IPNU) Jawa Barat sudah mau diakhiri oleh moderator, seorang mantan aktivis Hizbut Tahrir angkat bicara.
Ia mengawali pembicaraannya dengan menyebut bahwa Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari adalah murid dari kakeknya pendiri HT Taqiyuddin al-Nabhani, yakni Syekh Yusuf al-Nabhani.
Selepas itu, pria tersebut juga menyangkal pernyataan penulis buku tersebut, Sofi Mubarok, bahwa organisasi yang dibubarkan Pemerintah Indonesia pada Mei 2017 lalu ini menyatakan bahwa Pancasila adalah kafir.
"Saya kira terlalu berlebihan jika dikatakan bid’ah dan kafir," katanya.
Setelah itu, moderator ingin melanjutkan acara dengan pemberian buku oleh penulis kepada tiga peserta yang telah bertanya.
Tetapi, Muhammad Sofi Mubarok pun tidak diam begitu saja. Ia pun meminta waktu kepada moderator untuk berbicara menanggapi pernyataan mantan anggota HTI tersebut.
"Kalau khilafah jadi berdiri di Indonesia, Pancasila mau ditaruh di mana Pak?" tanya Sofi.
"Kita tidak membahas Pancasila di HTI," sangkalnya.
Mengutip pernyataannya Ainur Rofiq al-Amin dalam disertasinya, Sofi mengungkapkan bahwa dalam dokumen yang disembunyikan, HTI menyebut Pancasila itu kufur, falsafatu kuffrin laa tattafiqu ma’a al-Islam, falsafah kufur yang tidak sejalan dengan Islam. Hal tersebut jelas bertentangan dengan pandangan para kiai Nahdlatul Ulama.
“Pancasila itu tattafiqu ma’a al-syariah aw laa yukhalifuha aw hiya al-syariah bi‘ayniha, sepakat dengan syariah atau tidak bertentangan dengan syariah ataupun Pancasila itu syariah itu sendiri,” kata Sofi menyitir kaulnya KH Afifuddin Muhajir.
Tak mau ketinggalan, Kang Asep Salahuddin yang hadir sebagai pembanding juga menanggapi pernyataan mantan anggota HTI tersebut. Sebelum lebih jauh menanggapi, ia menanyakan nama anggota HTI tersebut.
“Siapa namanya, punten?” tanyanya.
“Dodi,” jawabnya.
“Pak Dodi, namanya seperti (orang) NU,” balas Ketua Lakpesdam NU Jawa Barat tersebut yang segera disambut tawa para peserta.
Ia menulis dalam Jurnal Tashwirul Afkar edisi Maret 2018 dengan judul Pancasila, NU, dan Gerakan Kebudayaan. Dalam tulisannya tersebut, Wakil Rektor IAILM Suryalaya tersebut mengungkapkan bahwa tulisannya menjawab diskusi pada malam hari tersebut.
Ia pun menyarankan agar mantan anggota HTI membacanya, tidak hanya orang NU. Sebab perdebatan tidak hanya melalui oral saja. Menurutnya, debat model tersebut tidak akan pernah selesai.
Sementara itu, Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat KH Ahmad Dasuki mengapresiasi HTI dalam membangun keumatan yang lebih kuat. Meskipun begitu, NU punya cara pandang sendiri dalam menentukan gerakannya, yakni demi menjaga keutuhan bersama.
“NU tidak pernah memusuhi HTI ataupun lainnya. Tetapi yang kita perjuangkan adalah kemaslahatan bersama,” tegas Kiai Dasuki.
Tujuan HTI, menurutnya, tidak salah. Tetapi caranya bermasalah. “Cara yang harus kita bangun adalah cara yang sesuai dengan karakter dan situasi kondisi (Indonesia),” katanya pada suatu diskusi tahun lalu menanggapi pernyataan tentang penegakan syariah oleh HTI.
Kiai yang aktif mengamati HTI sejak tahun 1996 itu juga menanggapi pernyataan anggota HTI berkaitan dengan silsilah keilmuan Mbah Hasyim yang pernah berguru pada kakeknya Taqiyuddin al-Nabhani.
Ia pun membaca dan mengamalkan Afdal al-salawat dan Sa’adat al-Darain. “Nasab secara geneologi itu belum tentu nasab secara Ahlussunnah wal Jamaah,” katanya.
Meskipun terjadi saling bantah pernyataan, para pembicara dan mantan anggota HTI itu pun bersalaman di akhir diskusi. Tidak ada saling hujat dan tidak ada caci maki.
Para peserta pun mengikuti acara dengan penuh khidmat hingga benar-benar selesai ditutup dengan potong tumpeng sebagai tanda tasyakkur Harlah ke-64 IPNU. Acara berakhir pada pukul 01.00 WIB setelah lebih dari empat jam para hadirin berdialektika.
Dialog kebangsaan tersebut dihadiri oleh rekanita IPPNU Jawa Barat, anggota PMII Bandung, anggota Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (Ijabi), dan perwakilan organisasi lainnya. (Syakir NF/Fathoni)