Nasional

Maafkan Mereka yang Berbuat Jahat Meski Sulit

Sen, 3 Juni 2019 | 13:25 WIB

Jakarta, NU Online
Ulama Tafsir Indonesia, Profesor Muhammad Quraish Shihab menegaskan bahwa tidak mudah menghadapi segala sesuatu dengan lapang dada. Apalagi memaafkan dan berbuat baik kepada mereka yang melakukan kejahatan.

"Kendati tidak mudah, bukan berarti tidak bisa dilakukan," ucap Prof Quraish dikutip NU Online, Senin (3/6) dalam program Mutiara Hati yang rutin tayang di stasiun televisi SCTV selama Ramadhan.

Ada dua kiat yang dibeberkan Quraish Shihab agar bisa memaafkan orang lain yang telah berbuat jahat. Pertama, tanamkanlah pencerahan pikiran dan hati agar menyadari bahwa yang bersalah adalah manusia seperti kita.

"Selanjutnya, sadarilah bahwa sebuah kesalahan terjadi karena dorongan nafsu yang muncul dari dalam diri pelaku atau dorongan luar. Jika demikian, kecamlah dorongan buruk itu, namun bukan pelakunya. Karena dia hanya korban," jelas pendiri Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) ini.

Penulis Kitab Tafsir Al-Misbah ini menjelaskan, sebenarnya ada tingkatan yang lebih tinggi daripada sekadar memberi dan meminta maaf (dijelaskan di bagian akhir tulisan ini).

Hal tersebut akan terlihat jelas ketika seseorang memahami apa itu istilah maaf. Kata maaf  berasal dari Al-Qur’an al-afwu yang berarti menghapus, karena yang memaafkan menghapus bekas-bekas luka di hatinya.

Menurutnya, bukan memaafkan namanya jika masih tersisa bekas luka di hati dan jika masih ada dendam yang membara dalam hatinya. Boleh jadi ketika itu apa yang dilakukannya baru sampai pada tahap menahan amarah.

“Artinya, jika manusia mampu berusaha menghilangkan segala noda atau bekas luka di hatinya, maka dia baru bisa dikatakan telah memaafkan orang lain atas kesalahannya,” tutur Pengasuh Pondok Pesantren Bayt Al-Qur’an ini.

Oleh karena itu, imbuhnya, syariat secara prinsip mengajarkan bahwa seseorang yang memohon maaf atas kesalahnnya kepada orang lain agar terlebih dahulu menyesali perbuatannya, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, serta memohon maaf sambil mengembalikan hak yang pernah diambilnya.

“Kalau berupa materi, maka materinya dikembalikan, dan kalau bukan materi, maka kesalahan yang dilakukan itu dijelaskan kepada yang dimohonkan maafnya,” terang Prof Quraish.

Keterangan tersebut, lanjutnya, juga menjadi syarat bertaubat seorang hamba kepada Tuhannya. Taubat menuntut penyesalan yang mendalam atas segala salah, khilaf, dan dosa yang diperbuat seorang hamba.

“Esensi taubat juga bukan hanya satu arah saja, yakni hubungannya dengan Tuhan, tetapi juga mengubah perilaku sosialnya di tengah masyarakat menjadi laku yang positif,” tandasnya. (Fathoni)