Nasional

LKNU: Kenali Batas-batas Penggunaan Gawai di Kalangan Anak-anak

Kam, 14 November 2019 | 07:45 WIB

LKNU: Kenali Batas-batas Penggunaan Gawai di Kalangan Anak-anak

Sekretaris Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama dr Citra Fitri Agustina

Jakarta, NU Online
Akhir-akhir ini banyak anak dan remaja yang dibawa ke rumah sakit untuk dikonsultasikan kondisi kejiwaannya. Pasalnya, mereka terlalu sering menggunakan gawai, baik untuk bermain gim atau sekadar mencari informasi melalui peramban dan media sosialnya. Hal itu membuat kejiwaannya goyah.

Sekretaris Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU) dr Citra Fitri Agustina menyampaikan bahwa hal tersebut diakibatkan dari adiksi gawai. "Kesenangan mereka yang terpuaskan membuat kecanduan, ingin melakukannya lagi dan lagi, terus-menerus," katanya saat ditemui di Rumah Sakit Yarsi, Cempaka Putih, Jakarta, Rabu (13/11).

Dalam gim, misalnya, anak-anak menggemari beberapa penghargaan (reward) yang mereka dapatkan, seperti bintang, senjata baru, dan sebagainya. Kepuasan inilah yang kemudian membuat mereka semakin tertarik.

Jika sampai mengganggu aktivitas kesehariannya dan komunikasinya, menurutnya, sudah harus diambil tindakan. Ketika makan bersama keluarga, misalnya Citra mencontohkan, anak masih tetap memainkan ponselnya, tidak justru bercengkerama dengan adik, kakak, ayah, atau ibunya.

"Prinsipnya kalau tidak menggangu pekerjaan dan sosialisasi tidak masalah. Tapi kalau semuanya terganggu, berarti kejiwaannya sudah bermasalah," ujarnya.

Hal itu, lanjutnya, dapat dilihat dari gejala-gejalanya, seperti mudah marah, tidak mampu mengurangi waktu menggunakan ponselnya meski memiliki PR atau tugas, hingga mudah berbohong. Jika hal demikian sudah terjadi, maka menurutnya, harus dilakukan beberapa treatment khusus.

Tapi demikian juga harus menjadi konsistensi orang tua. Artinya, ketika mencegah anak untuk mengurangi penggunaan ponselnya, orang tua juga harus melakukan hal yang sama. Meskipun dengan alasan pekerjaan, orang tua tidak boleh terlihat oleh anaknya untuk menggunakan gawainya.

Dampak yang tak kalah mengkhawatirkannya adalah imitasi, upaya meniru, hal-hal negatif dan bersifat kekerasan. Terlebih bagi anak-anak yang tentu belum bisa membedakan dunia maya dan nyata sehingga apa yang dilihat di layar ponsel mereka seolah hal biasa.

Gim perang, misalnya, sangat tidak dibolehkan dimainkan oleh anak-anak yang di bawah usia 17 tahun. "Anak-anak belum matang. Mereka masih berpikir semuanya sama. Karenanya kontrol orang tua sangat penting," ujar dokter lulusan Universitas Indonesia itu.
 

Pewarta: Syakir NF
Editor: Alhafiz Kurniawan