Nasional

Lesbumi Teguhkan Usmar Ismail sebagai Mercusuar Jalan Kebudayaan NU

Sel, 23 November 2021 | 00:30 WIB

Lesbumi Teguhkan Usmar Ismail sebagai Mercusuar Jalan Kebudayaan NU

Ketua PP Lesbumi KH Jadul Maula saat memberikan sambutann pada malam tasyakuran atas anugerah Pahlawan Nasional yang diberikan kepada Pendiri sekaligus Ketua Pertama Lesbumi NU H Usmar Ismail, di lantai 8 Gedung PBNU Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat, pada Senin (22/11/2021) malam. 

Jakarta, NU Online

Pengurus Pusat (PP) Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama (NU) menggelar malam tasyakuran atas anugerah Pahlawan Nasional yang diberikan kepada Pendiri sekaligus Ketua Pertama Lesbumi NU H Usmar Ismail, di lantai 8 Gedung PBNU Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat, pada Senin (22/11/2021) malam. 


“Malam hari ini, dengan mengenang H Usmar Ismail, kita akan meneguhkan bahwa beliau menjadi bagian satu mercusuar jalan kebudayaan NU,” ujar Ketua PP Lesbumi NU KH Jadul Maula.


Hal tersebut cukup beralasan karena Usmar Ismail bersama teman-temannya seperti H Djamaluddin Malik dan H Asrul Sani telah membawa NU menapaki satu jalan kebudayaan. Mereka dinilai telah mampu membangun karakter nasional melalui dunia perfilman. 


Kiai Jadul menegaskan bahwa dunia perfilman merupakan gabungan dari banyak serpihan. Di dalamnya terdapat sastra, musik, gambar, visual, dan seni bagaimana manusia mengelola dirinya sendiri. Hal itu termuat di dalam salah satu karya film karya Usmar Ismail yang hingga kini ternyata masih relevan. 


“Kita pasti sangat terkenang dengan film beliau berjudul Long March atau diterjemahkan menjadi Darah dan Doa. Kita lihat menggambarkan satu kejadian dari sudut pandang yang sangat luas, peristiwa revolusi. Pahlawan digambarkan dengan sangat manusiawi. Hari ini kita melihat relevansi film beliau,” terang Kiai Jadul.


Film tersebut diakhiri dengan bangsa Indonesia yang memasuki era kemerdekaan, tetapi kini sedang menjalani satu perjalanan panjang untuk mencapai tujuan dari didirikannya negara ini. Salah satunya adalah menjaga persatuan bangsa, menghindari satu konflik horizontal warga bangsa yang hingga kini, sedang dihadapi bangsa Indonesia.


“Melalui film, beliau merekam perjalanan sejarah bangsa kita, sejarah perjuangan nasional. Itu seperti memberikan visi kita ke depan (tentang) apa yang harus kita lakukan untuk membangun bangsa yang kuat,” ujar Pengasuh Pondok Pesantren Kaliopak, Yogyakarta itu.


Kiai Jadul atas nama PP Lesbumi NU pun menyampaikan rasa syukur dan mengucapkan terima kasih kepada Presiden Joko Widodo yang telah memberikan anugerah pahlawan nasional kepada Usmar Ismail. Anugerah itu, tegasnya, akan membuat para pengurus Lesbumi terus meneladani Usmar Ismail dalam meniti jalan kebudayaan. Tujuannya tentu saja untuk mengembangkan cita-cita dalam berkhidmat NU dalam rangka membangun bangsa Indonesia. 


“Mudah-mudahan NU ini betul-betul menjadi organisasi yang sesuai dengan jalan yang dirintis para pendiri. Menjadi satu penopang bagi perjalanan kebudayaan bangsa untuk mencapai tujuannya sebagai bangsa dan negara,” tegas Kiai Jadul. 


Empat pilar Nusantara

Kiai Jadul juga menjelaskan tentang empat pilar Nusantara yang dimaknainya dari empat tiang utama penyangga Masjid Demak. Tiang pertama disumbangkan atau didirikan oleh Sunan Ampel, tiang kedua oleh Sunan Gunung Djati, tiang ketiga oleh Sunan Bonang, dan tiang keempat Sunan Kalijaga. 


“Jadi, kalau Masjid Demak kita gambarkan kenusantaraan, maka kenusantaraan kita disangga oleh empat tiang utama. Sunan Ampel melambangkan historisitas, generasi awal pendiri bangsa, akar historis kita,” terangnya. 


“Lalu Sunan Gunung Djati, beliau seorang sultan, melambangkan kekuatan ketatanegaraan. Sunan Bonang, seorang guru rohani melambangkan keilmuan. Sunan Kalijaga, kita tahu sebagai lambang dari kebudayaan. Ini menjadi empat pilar dari soko guru kenusantaraan kita,” imbuh Kiai Jadul. 


Pada proses pendirian tiang itu, Sunan Kalijaga datang paling belakangan. Menurut Kiai Jadul, hal itu karena Sunan Kalijaga membutuhkan waktu untuk menuntut ilmu kepada para wali di tanah Jawa dan para leluhur era Majapahit. Lalu Sunan Kalijaga membangkitkan juga orang-orang di sekitarnya. 


“Itu semua dilambangkan dengan bentuk tiangnya yang berbentuk tatal, soko tatal, berupa serpihan kayu yang disambung-sambung, diikat menjadi satu kesatuan. Ini sebenarnya lambang dari jalan kebudayaan kita,” katanya.


Ditegaskan, jalan kebudayaan yang dirintis NU haruslah berlangsung secara arif dan sabar. Terlebih dulu menyambungkan jaringan keilmuan yang berakar dari Nusantara, keilmuan yang data dari dunia Islam di Arab, dan keilmuan yang datang dari berbagai wilayah secara kosmopolitan. 


Kiai Jadul menegaskan bahwa jalan kebudayaan membangun perspektif untuk membangun peradaban dari multidisiplin. Itu semua didapat dari wawasan luas yang dilakukan perubahan setapak demi setapak berbasis pada kemanusiaan. 


Ia memandang, NU yang didirikan oleh para ulama pesantren juga sebagai sebuah jalan kebudayaan. Para ulama NU ketika membangun bangsa pun menghitung semua jalan keilmuan yang ada. 


“(Dan) perubahan itu dilakukan setapak demi setapak, membimbing semua manusia dari semua level kehidupan dengan penuh kesabaran, dan penuh keyakinan bahwa setiap manusia pasti akan tumbuh menjadi manusia,” terangnya.


“Ketika disabari maka itu akan tumbuh kemanusiaan yang sempurna dan akan jadi tiang kokoh bagi peradaban bangsa,” pungkas Kiai Jadul. 


Sebagai informasi, acara ini dibuka dengan pembacaan tahlil yang dipimpin KH Abdullah Wong dan doa yang dipimpin KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Diisi pula oleh penampilan Grup Ensambel Lesbumi NU yang membawakan lagu Ya Lal Wathan, serta penampilan dari Sastro Adi yang membawakan lagu Al-Hubb Fii Shomti dan Senandung Saptawirakrama.


Acara ini dihadiri juga oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, perwakilan keluarga H Usmar Ismail dan H Asrul Sani. Di akhir, Kiai Said memotong tumpeng sebagai bentuk rasa syukur dan potongan itu diberikan kepada keluarga Usmar Ismail. Selanjutnya, Kiai Said menerima pemberian buku Biografi Usmar Ismail. Kemudian acara ditutup dengan pembacaan doa oleh Budayawan Ki Purboantono.

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Syakir NF