Lebaran dari Pinggir Rel sampai Daerah Elite
NU Online · Senin, 20 Agustus 2012 | 08:32 WIB
Jakarta, NU Online
Berbeda dari yang sering terjadi pada tahun-tahun lampau, hampir seluruh umat Islam Indonesia serentak merayakan Hari Raya Idul Fitri 1433 Hijriah, pada hari yang sama, Minggu tanggal 19 Agustus 2012. <>
Di hari itu pula, kota-kota kecil, desa-desa, kampung-kampung mendadak ramai oleh manusia, tapi sejumlah kota malah mendadak sepi ditinggal warganya, seperti di ibukota Jakarta seharian itu.
Di Jakarta ini, jalan raya lengang ditinggal mudik sebagian penghuninya. Sebagian warga yang tidak mudik, terlihat lalu lalang, berkendara untuk bersilahturahmi dengan sanak saudara yang jauh dari rumah mereka.
Namun, ada yang cukup bahagia dengan berkumpul bersama keluarga kecil di rumah, tidak kemana-mana, menyantap makanan seadanya.
Sukarno (52 tahun) warga Jalan Tenaga Listrik, Tanah Abang, Jakarta Pusat, adalah salah satu dari mereka. Dia bahagia menjalani Lebaran alakadarnya.
Bagi dia, makna utama lebaran adalah menyucikan hati dengan bermaafmaafan. Tak wajib memakai baju baru, atau panganan lengkap beraneka menu.
"Saya setiap lebaran ya begini bersama keluarga kecil saya di tempat ini," kata Sukarno kepada ANTARA News, beberapa jam setelah salat Ied, Minggu.
Tempat tinggal Sukarno, andai kata layak disebut rumah, hanya ruangan seukuran 3x4 meter, berdinding triplek. Letaknya berderet dengan rumah warga lain, persis menyusuri samping rel kereta, mengarah ke Stasiun Tanah Abang.
Saat dijumpai, Sukarno sedang duduk di bangku kayu depan rumahnya, menatapi tumpukan ban bekas yang dikumpulkannya beberapa hari belakangan, untuk kemudian dijual lagi ke pabrik sebagai bahan baku minyak solar olahan.
Dia mempersilakan ANTARA News duduk di sebelahnya, lalu dia menceritakan tradisi berlebaran di lingkungan rumahnya yang jauh dari kata istimewa.
Pagi sekali warga sekitar rumahnya menggelar ibadah salat Idul Fitri di satu masjid yang terletak di kawasan Tanah Abang.
"Setelah itu warga pinggir rel sekitar sini bersalam-salaman, bermaaf-maafan. Sebenarnya ya sama saja dengan warga di tempat lain, namanya juga Lebaran," ujar dia.
Usai bersalaman, warga kembali ke rumah, menjalani rutinitasnya. Beberapa yang bekerja sebagai pemulung, sibuk mempersiapkan gerobaknya, sementara Sukarno hari itu memutuskan tinggal di rumah petaknya bersama istri dan lima orang anaknya.
"Istri saya sedang tidur sama anak-anak, mungkin capek. Ya begini keadaannya," kata Sukarno.
Malam sebelumnya Sukarno dibuatkan sang istri soto babat kesukaannya, serta dibelikan bolu kukus, khusus camilan hari raya.
"Di sini kalau Lebaran makan pakai nasi, soalnya istri saya nggak masak ketupat. Makannya pakai soto babat," kata dia.
Jaga tradisi
Sukarno dan tetangga-tetangganya tetap menjaga tradisi nenek moyang mereka; bertukar makanan saat hari raya tiba.
"Biasanya warga saling tukar makanan, itu kan sudah tradisi nenek moyang. Yang satu masak apa, yang lain masak apa, nanti saling tukar, biasa lah itu, namanya juga untuk kebersamaan," kata dia.
Saat asyik bercerita, tiba-tiba kereta lewat persis depan rumah Sukarno, bunyi klakson memekikkan telinga langsung menginterupsi obrolan kami.
Itu mungin tidak biasa bagi kebanyakan orang, tapi bagi orang-orang seperti Sukarno suasana seperti itu adalah kawan hidup mereka.
"Sudah biasa," kata Sukarno yang sudah 35 tahun tinggal di pinggir rel kereta.
Sri Wahyuni (52), warga lain yang tinggal di sana, juga sudah teramat biasa menjalani kondisi seadanya ini.
Sri yang tinggal dengan suaminya di Jakarta sebenarnya ingin sekali pulang ke Jepara di Jawa Tengah, untuk berkumpul dengan keluarga besar.
Namun niatan itu urung dilakukan lantaran dia dan suaminya terlalu lelah untuk menempuh perjalanan panjang ke kampung.
"Saya biasanya kalau pulang kampung naik motor karena lebih murah. Tapi sekarang kan macet, dari Jakarta ke Pekalongan saja bisa dua hari, capek di jalan," cetusnya.
Akhirnya, Sri pun tahun ini harus rela tidak berkumpul dengan keluarga besarnya di kampung.
Beda
Kondisi berbeda terlihat di wilayah perumahan elite di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Di sana rumah-rumah rumah mewah bak tak berpenghuni, gerbang-gerbangnya tertutup rapat.
Sejumlah petugas keamanan setempat menyebutkan, pada saat Lebaran tak sedikit warga Pondok Indah yang berekreasi ke luar negeri.
Hanya segelintir yang menggelar open house untuk membuka tali silahturahmi dengan yang lainnya, namun hanya orang tertentu saja yang diperkenankan masuk.
Jika bukan keluarga atau kolega, tamu tak diundang tidak akan diizinkan masuk oleh satpam pribadi pemilik rumah di sana.
Di sini sikap berhati-hati cenderung mencurigai adalah keniscayaan. Tak apa, wajar, karena di kawasan ini ada segudang alasan yang membuat orang-orang tidak bisa seramah, seterbuka dan sekekeluaragaan Sukarno di pinggir rel kereta api itu.
"Maaf, bapaknya lagi sibuk, lagi ramai begini. Mungkin wawancaranya lain kali saja ya," kata satpam salah satu rumah di sana, saat Antara News memohon izin untuk bertanyajawab ringan dengan si pemilik rumah dan orang-orang yang menyilaturahminya.
Hal senada dilontarkan satpam pada beberapa rumah lainnya di sekeliling kompleks perumahan elite itu, termasuk penjaga rumah di kediaman salah satu Ketua RT di sana.
"Bapak tidak berkenan diganggu mas, sedang kumpul keluarga," kata penjaga itu.
Sejak pagi hingga siang hari Minggu kemarin itu, beberapa rumah terlihat menggelar open house, mobil-mobil mewah parkir berjejer sepanjang jalan Gedung Hijau, Pondok Indah.
Para penghuninya tampak sangat ceria, bersalam-salaman menyambut tamu-tamu mereka, lengkap mengenakan busana muslim.
Ternyata, suasananya jauh lebih ramai dari lingkungan di seputaran rumah Sukarno dan Sri Wahyuni di pinggir rel kereta Tanah Abang.
Kondisi serupa dijumpai di kawasan perumahan elite lain seperti Bintaro, Permata Hijau dan Darmawangsa.
Gerbang-gerbang tinggi yang angkuh menghalangi rumah-rumah mewah itu dari pandangan awam, tak bisa menutupi keceriaan dan kenikmatan para penghuninya dalam menyambut Hari Kemenangan.
Redaktur: Mukafi Niam
Sumber : Antara
Terpopuler
1
Panduan Shalat Idul Adha: dari Niat, Bacaan di Antara Takbir, hingga Salam
2
Takbiran Idul Adha 1446 H Disunnahkan pada 5-9 Juni 2025, Berikut Lafal Lengkapnya
3
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
4
Khutbah Idul Adha: Mencari Keteladanan Nabi Ibrahim dan Ismail dalam Diri Manusia
5
Terkait Polemik Nasab, PBNU Minta Nahdliyin Bersikap Bijak dan Kedepankan Adab
6
Khutbah Jumat: Meraih Hikmah Kurban di Hari Raya Idul Adha
Terkini
Lihat Semua