Nasional EKSPEDISI ISLAM NUSANTARA (64)

Kyai Modjo dan Perkawinan Minahasa-Jawa

NU Online  ·  Rabu, 1 Juni 2016 | 11:00 WIB

Secara tradisi mereka masih memegang kebudayaan Jawa yang telah bernuansa Islam. Jug tradisi Melayu. Bahasa Jawa juga masih tetap digunakan. Dalam keseharian mereka berbahasa Minahasa sekitara 80 persen, sisanya bahasa Jawa. Bahasa Jawa mengacu kepada nama-nama makanan dan tradisi.Sebagai salah seorang penyokong perjuangan Pangeran Diponegoro dalam menentang penjajah Belanda pada tahun 192-1930, Kyai Modjo harus mengalami nasib pahit. Ia dibuang ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Ia dibunag ke wilayah itu bersama pasukannya.

Berdasarkan keterangan yang tercantum di papan peristirahatan terakhirnya, rombongan Kyai Mojo tiba di Tondano pada akhir tahun 1929. Ia diasingkan bersama pasukannya berjumlah 62 orang, dan semuanya laki-laki.

Papan itu juga menyebutkan bahwa Kyai Mojo bernama asli Kyai Muslim Muhammad Halifah, lahir pada 1764 dan wafat pada 20 Desember 1849. Kyai Modjo diasingkan bersama pasukannya oleh penjajah Belanda ke daerah tersebut. Ia bersama pengikutnya diasingkan dengan rute dari Semarang-Batavia-Ambon-Tondano.

Setahun kemudian istrinya diasingkan ke sini. Sementara pasukannya yang lain menikahi perempuan-perempuan Minahasa. Di antaranya ada yang menikahi putri Walak Tondano, kepala suku Minahasa, bernama Ringkingan Tombokan.

Semua perempuan Minahasa yang menikah dengan pasukan Kyai Modjo kemudian memeluk agama Islam. Anak cucu dari perkawinan mereka kemudian dikenal dengan Jawa Tondano.

Secara tradisi mereka masih memegang kebudayaan Jawa yang telah bernuansa Islam. Jug tradisi Melayu. Bahasa Jawa juga masih tetap digunakan. Dalam keseharian mereka berbahasa Minahasa sekitara 80 persen, sisanya bahasa Jawa. Bahasa Jawa mengacu kepada nama-nama makanan dan tradisi. (Abdullah Alawi)