Nasional

Kisah KH Miftachul Akhyar Menolak Jadi Rais ‘Aam PBNU

Sen, 6 Desember 2021 | 11:00 WIB

Kisah KH Miftachul Akhyar Menolak Jadi Rais ‘Aam PBNU

Rais 'Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar. (Foto: Youtube NU Online)

Jakarta, NU Online

KH Miftachul Akhyar pernah menolak menjabat dijadikan pemimpin tertinggi di NU: Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ketika itu, saat mengemban amanat sebagai Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur, ia diminta KH Ma’ruf Amin menjadi wakil rais aam masa khidmat 2015-2020. 


“Setelah dua kali di pertengahan, saya diminta oleh Kiai Ma'ruf untuk menjadi wakil rais aam. Saya menolak. Pokoknya, enggak pernah, semua, mulai jadi Surabaya, PCNU, PWNU dan diminta (PBNU), saya itu selalu menolak,” terangnya, dalam tayangan Lebih Dekat KH Miftachul Akhyar di kanal Youtube NU Online, dilihat Ahad, (6/12/2021).


Tapi, lanjut Kiai Mitftach, Kiai Ma'ruf akhirnya mengeluarkan kartu truf-nya. “Kalau saya enggak mau, dia enggak mau jadi rais aam. Ini yang repot, saya. Terpaksalah saya. Dan saya enggak tahu kalau di pertengahan beliau dicalonkan wapres. Kalau memberitahu, saya sudah sipat kuping istilahnya, sudah (tidak mau),” terangnya.


Menurut Pengasuh Pesantren Miftachus Sunnah Surabaya itu, prosesnya menjadi rais aam tidak normal. Musababnya, aturan di AD/ART NU, manakala rais aam berhalangan tetap, maka wakil rais aam lah yang akan menggantikan. 


“Saya sempat mengundurkan diri itu. Didatangi PBNU, katakan nangis-nangis lah minta. Tidak mau saya, satu suara sudah. Karena saya sendiri menyatakan: rais aam itu di atasnya presiden (seperti 'guru bangsa' – ed.), apalagi hanya wapres. Di atas presiden. Dan sampai hari ini, itu yang menjadi sikap saya,” terangnya, mantap.


Begitu menyatakan mundur, ia juga memberikan solusi dengan mengajukan nama KH Maimoen Zubair (Mbah Moen) atau KH Muhammad Tholchah Hasan (keduanya sudah wafat – ed). “Ini yang sangat pas untuk menduduki rais aam. Tapi salah usulan saya itu, karena AD/ART NU bilang: wakil rais aam yang menggantikan. Tidak bisa, beliau kan sebagai mustasyar,” terang Kiai Miftah.


Ternyata, bakda Isya' ia ditelepon Mbah Moen, memarahi: "Kiai, Anda itu saya jaga-jagain kok malah mundur. Enggak boleh (mundur)," kata Mbah Moen.


Kiai Tholchah juga sama. Karena pengurus PBNU minta petunjuk, Kiai Miftah menyarankan kalau tidak Mbah Moen, Kiai Tolchah. Ketika Kiai Tolchah diberitahu, justru marah: "Bilang, jangan, enggak boleh. Kalau (Kiai Miftah) tidak mau, saya akan datang ke Surabaya."   


Karena kedua orang yang diusulkannya justru marah, akhirnya Kiai Miftah terpaksa mau menjadi Rais Aam PBNU. “Makanya saya katakan: ‘Saya ini rais aam yang gawat darurat dan darurat ini selalu mulai dari awal,’” akunya.


Perjalanan Khidmah KH Miftachul Akhyar di NU

Setelah nyantri di Pesantren Al Islah Lasem, Kiai Miftah diminta untuk menjadi pengurus di MWCNU Kecamatan Tambaksari, Surabaya. Lalu pada sekitar tahun 1978 diminta untuk menjadi salah satu wakil rais PCNU Surabaya. Pada Konferensi Cabang tahun 1980, ia juga masuk di jajaran wakil rais. Setelah itu, karena ada kesibukan, Kiai Miftah mundur.


Tahun 1985 ia diajak lagi masuk ke PCNU Surabaya, sebagai wakil raisnya Kiai Mas Nur Branjangan. Tahun 1990 ia terpilih menjadi rais di PCNU Surabaya. Pada pertengahan tahun ia ditarik ke Pengurus Wilayah (PW) NU, sebelum ada pelarangan rangkap jabatan. Praktis, ia sebagai rais syuriyah PCNU Surabaya sekaligus wakil rais di PWNU Jawa Timur.


“Bahkan sempat saya mengundurkan diri dari PCNU, tapi oleh pengurus yang lain - oleh PWNU - tetap di minta untuk (menjabat). Waktu itu sudah mulai ada pelarangan rangkap jabatan,  tapi untuk saya diberikan sebuah  dispensasi, keistimewaan dan sebagainya,” ungkap Kiai Miftah.


PWNU Jawa Timur Ketika itu dipimpin KH Hasyim Muzadi sebagai ketua tanfidziyah dan Kiai Imron Hamzah sebagai rais syuriyah. Setelah Kiai Imron Hamzah wafat, digantikan Kiai Masduki Mahfudz. Kiai Miftah melepas Surabaya dan menjadi wakil Kiai Masduqi. Tahun 1990-an, Kiai Miftah terpilih menjadi rais syuriah, karena Kiai Masduki tidak mencukupi suaranya. Seumpama diulang lagi, kata Kiai Miftah, malah mengkhawatirkan.


“Dan saya, adat di NU kan kalau masih ada rais, tidak mau. Saya tidak mau. Kiai Masduki menyuruh terus. Akhirnya maunya saya tidak mau, tapi pemilihan diulang. Ini bisa lepas lagi, malah kena. Akhirnya saya sudah oleh kiai-kiai dijaga, jangan sampai lari, saya. Akhirnya ya sudah:  saya terima dalam keadaan keterpaksaan,” terangnya.


Kiai Mitfah terpilih secara resmi sebagai rais syuriyah PWNU Jawa Timur selama dua periode. "Yang tidak resmi, karena ada PAW (pengganti antar waktu-ed.), ada sesuatu, baru tujuh bulan, ini dicabut SK (surat keputusan-ed.) karena gara-gara Pak Ali Maschan mencalonkan wakil gubernur, dulu. Itu kan saya pencat,” terangnya, sambil terkekeh. 


Dalam hal ini, Kiai Miftah mengatakan akan mendukung Pak Ali Maschan, dengan syarat harus mundur dari ketua tanfidziyah. Tetapi kalau masih tetap mempertahankan, katanya, justru akan kontra-produktif. “Ngotot, akhirnya saya pecat. Tapi setelah dia tidak jadi, saya tarik lagi ke jajaran wakil rais,” kenangnya. 


Walhasil, Kiai Miftah mendapat SK sebagai rais syuriyah PWNU empat kali: yang dua normal, yang lainnya tidak normal. “Setelah dua kali di pertengahan, saya diminta oleh Kiai Ma'ruf untuk menjadi wakil rais aam,” kata kiai yang juga mengaku sempat menolak jabatan ketua MUI. 


Kontributor: Ahmad Naufa Kh. F.

Editor: Ahmad