Nasional

KH Miftachul Akhyar Ungkap Faedah Berdzikir di Zaman Modern

Sel, 26 Oktober 2021 | 11:00 WIB

KH Miftachul Akhyar Ungkap Faedah Berdzikir di Zaman Modern

Rais ‘Aam PBNU KH Miftachul Akhyar. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online
Pola kehidupan modern identik dengan rutinitas yang padat dan cepat. Di tengah segala aktivitasnya yang terasa berdenyut sesak, ketenangan jiwa menjadi hal yang diperlukan guna kembali menarik makna pada kehidupan.

 

Terkait mencari ketenangan batin, Rais 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar menyebutkan bahwa berdzikir adalah kunci untuk bisa menjadi pribadi yang berhati tenang.

 

Kok, melalui dzikir? Ingin menerangi hati, kok pake dzikir? Ya memang dzikir itu adalah nur (cahaya). Bahkan Al-Qur’an menyatakan ‘Ala bidzikrillahi tathmainnul-qulub’, ingatlah dengan dzikrullah hati menjadi tenang,” terang Kiai Miftach pada pengajian di TVNU, dilihat NU Online, Selasa (26/10/2021).

 

Faedah berdzikir, Kiai Miftach mengatakan, sungguhlah dahsyat. Selain bisa menenangkan hati, dengan melafalkan dzikir bahkan dapat melunakkan dan menyadarkan hati seseorang yang kufur.

 

“Dzikir itu dahsyat sekali. Bisa membuat hati yang goyah, yang tidak tenang, bahkan yang kufur pun bisa lunak dan akhirnya sadar," kata Kiai Miftach.

 

Dijelaskan, orang-orang yang berzikir dengan tujuan agar hatinya menjadi tenang dan tersinari, mereka merupakan kelompok salikin. Kelompok tersebut, sambung Kiai Miftach, mejalankan ketaatan dengan tujuan semata-mata agar hatinya dipenuhi oleh nur.

 

“Karena tiap dzikir ada nurnya. Nur ini tidak bisa ditemukan kecuali pada hati yang suci, hati yang bersih,” ujar ulama kelahiran Surabaya, Jawa Timur itu.

 

Nur tersebut, lanjutnya sulit untuk menembus kepada hati seseorang yang ternodai akan maksiat. “Orang yang maqomnya tinggi lupa pada Allah saja itu maksiat. Karena ilmu itu adalah nur, cahaya Allah tidak akan dianugerahkan pada hati-hati yang kotor yang bermaksiat,” tutur pengasuh Pesantren Miftachus Sunnah Surabaya tersebut.

 

Sementara itu, seseorang yang memiliki tabiat pemarah dan gemar berkelahi, tutur Kiai Miftach, menandakan betapa kacau dan berkarat hatinya.

 

“Kalau hati orang kacau, isinya ngajak perang terus. Sama halnya di dalam rumah tangga. Kalau gegeran terus, hatinya kacau. Bukan karena nafkahnya kurang. kalau hati itu ada nurnya, tenang kehidupan. Dan itu bisa diterapkan di dalam menata dunia ini,” pungkas Kiai Miftach.

 

Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Aiz Luthfi