Nasional

Kiai Miftach: Istri adalah Tanda Kekuasaan Allah untuk Ketenangan Jiwa

Kam, 18 Maret 2021 | 09:05 WIB

Kiai Miftach: Istri adalah Tanda Kekuasaan Allah untuk Ketenangan Jiwa

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Miftachul Akhyar

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Miftachul Akhyar menyebut, istri merupakan bagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Istri diciptakan untuk menciptakan ketenangan jiwa bagi suami.


Hal tersebut diungkapkan saat memberi sambutan dalam acara seminar dan deklarasi nasional bertajuk Pendewasaan Usia Perkawinan untuk Peningkatan Kualitas SDM Indonesia yang diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerja sama dengan MUI, pada Kamis (18/3) pagi.


“Fikih Islam memang tidak membatasi usia perkawinan, tapi ada sebuah penekanan yakni kedewasaan. Tujuannya agar tercipta keharmonisan dalam sebuah perkawinan,” ungkap Pengasuh Pesantren Miftachus Sunnah, Surabaya, Jawa Timur ini.


Ia menjelaskan surat Ar-Rum ayat 21 yang masyhur tentang perkawinan. Di dalam ayat itu disebutkan, di antara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah menciptakan azwaja (istri-istri) bagi para suami.


“Di ayat ini istri sebagai tanda kekuasaan Allah. Islam sejak awal menghormati, memuliakan, dan mengangkat derajat perempuan. Target atau tujuan hasil dari Allah menciptakan para istri bagi suami agar meraih sakinah ketenangan jiwa,” jelas Kiai Miftach.


Ia mewanti-wanti agar jangan sampai kalimat li taskunuu dalam ayat itu dimaknai secara pendek yakni hanya kepuasan biologis yang tidak bertahan lama. Sebab kalimat itu dilanjut dengan kata ilaa yang bermakna ghayah atau tujuan tanpa batas.


“Beda artinya jika litaskunu ‘indaha. Ini diartikan kepuasan fisik biologis. ‘Inda itu dharaf (waktu atau tempat yang ada batasnya). Tapi ilaa adalah sebuah ghayah yang tanpa batas. Itulah arti sakinah,” jelas Kiai Miftach.


“Artinya, kalau para suami menginginkan sebuah ketenangan jiwa, orang yang bisa merasakan ketenangan jiwa adalah orang yang dewasa. Orang yang sudah mencapai batasan Ar-Rusyd atau Rusydan. Dia pintar, cerdas, bertanggung jawab. Ini akan dialami oleh mereka. Maka ketenangan itu tempatnya adalah ilaihaa kepada istri-istri kalian,” imbuhnya.


Setelah ketenangan itu dicari, barulah Allah menjanjikan hal lain. Dalam ayat itu disebutkan wa ja’ala bainakum mawaddatan wa rahmah. Menurut Kiai Miftach, makna ja’ala adalah sebuah anugerah dari Allah atas upaya dan ikhtiar lahir dari manusia.


Ja’ala ini bisa diartikan adalah menyambut atau menjawab akibat dari sebuah aksi. Ja’ala bisa diartikan sebagai sebuah reaksi dari Allah. Kalau memang kalian mengadakan sebuah perkawinan, tujuannya untuk mencari ketenangan, kedewasaan, kebertanggungjawaban, Allah yang akan menganugerahkan mawaddah dan rahmah,” terangnya.


Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini menjelaskan, mawaddah memiliki makna dan level lebih tinggi dari mahabbah (cinta). Ia menekankan, cinta bisa berat sebelah dan bertepuk sebelah tangan.


“Tapi kalau sudah mawaddah, di situ ada mahabbah dan muwafaqah (kecocokan). Dari situ maka akan tercipta hayatan zawjiyah (kehidupan harmoni) yang kita harapkan. Lalu rahmah adalah kasih sayang. Lebih melengkapi dari kepentingan-kepentingan untuk melahirkan rumah tangga yang penuh sakinah,” ucap Kiai Miftach.


Di kesempatan yang sama, Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin menyatakan bahwa perkawinan yang dipersiapkan secara matang akan menciptakan keluarga harmonis dan bahagia. Karena itu, pemenuhan pendidikan yang optimal dan penggalakan konseling pra-nikah sangat diperlukan.


Pendidikan dan penggalakan konseling pra-nikah itu bertujuan untuk meningkatkan kematangan pasangan yang akan melangsungkan pernikahan, agar mampu membina rumah tangga yang harmonis dan bahagia di masa depan.


“Peran pendidikan menjadi kunci untuk membangun kemampuan dan kematangan individu,” ungkap Wapres.


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Muhammad Faizin