Nasional

Kiai As’ad Syamsul Arifin, Almanak, dan Lukisan

NU Online  ·  Selasa, 9 Mei 2017 | 09:09 WIB

Kiai As’ad Syamsul Arifin, Almanak, dan Lukisan

Lukisan Kiai As'ad Syamsul Arifin (tengah) dan Gus Mik (kiri) karya Nabila Dewi Gayatri

Jakarta, NU Online 
Saya tidak mungkin lupa gaya udeng-udeng Kiai As'ad Syamsul Arifin ketika melihat lukisan Nabila Dewi Gayatri yang dipamerkan di Grand Sahid Jaya, Jakarta mulai 8 sampai 14 Mei. Pameran tunggal bertajuk "Sang Kekasih" itu menghadirkan 50 lukisan kiai Nusantara. 

Saya tidak mungkin lupa gambar Kiai As’ad itu karena selalu ada pada almanak di rumah saya ketika bocah. Namun, waktu itu, saya tidak pernah bertanya itu siapa kepada dia ayah. Sementara ayah tidak pernah menjelaskan. 

Ketika berganti tahun, almanak di rumah saya berganti juga. Saya berharap akan berubah menjadi gambar Yana Zein, Anna Maria, Desy Ratnasari atau Paramitha Rusady. Ternyata tidak. Gambar itu-itu juga. Orang tua dan tentu tak saya kenal. Dan gambar dengan udeng-udeng khas itu masih ada. 

Lagi-lagi saya tidak pernah bertanya itu siapa kepada ayah. Sementara ayah tidak pernah menjelaskan. 

Setelah bisa membaca, barulah saya tahu nama di bawah gambar itu KH As'ad Syamsul Arifin. Hanya itu, tiada penjelasan lain. 

Belakangan saya membaca artikel H. Mahbub Djunaidi. Ada dua tulisan, setahu saya, yang berisi tentang Kiai As'ad. Pertama, penghormatan Mahbub kepada Kiai As'ad. Meski tengah malam, jika Kiai As'ad yang meminta, ia akan merangkak dari Bandung ke Situbondo. 

Di tulisan kedua, Mahbub agak detail menjelaskan profil kiai itu. Kiai As'ad, menurut Mahbub, dekat dan mengetahui denyut umatnya. Ia hafal teknik membuat perahu para nelayan di Situbondo. 

Tak hanya itu, Kiai As’ad mampu mengomentari tokoh-tokoh dunia seperti Ayatullah Khomeini dan buku "Beyond the Ruling Class"nya Suzanne Keller. Padahal ia tidak pernah kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atau UIN-UIN lain. Juga tidak di ITS atau ITB. Tidak! Dia hanya di pesantren!

Dari data semacam itu, Mahbub kemudian mengkritik Sutan Takdir Alisjahbana yang berpendapat bahwa pendidikan nasional harus bertolak dengan meninggalkan pesantren karena itu budaya lama. Ia berbeda dengan seniornya, Ki Hajar Dewantara, Soetomo, dan lain-lain yang mestinya mempertimbangkan pesantren. 

Karena itulah, pada tulisan tersebut, Mahbub meminta sekali waktu agar Sutan Takdir Alisjahbana mengobrol dengan Kiai As'ad. Dia akan mengetahui bagaimana jebolan pesantren itu yang hendak ia tinggalkan itu. (Abdullah Alawi)