Nasional

KH Syam’un, Sang Pahlawan Nasional; Santri, Pejuang, dan Bupati

NU Online  ·  Jumat, 9 November 2018 | 02:50 WIB

Jakarta, NU Online
Nama KH Syam’un termasuk salah satu dari 6 tokoh yang diberi gelar  pahlawan nasional oleh Presiden Jokowi, Kamis (8/11). Memang, sosok yang satu ini  tidak sepopuler nama-nama tokoh yang telah mendapat gelar pahlawan seperti KH Wahid Hasyim, KH As’ad Syamsul Arifin dan sebagainya. Namun sesungguhnya, kiprahnya untuk bangsa dan negara tidaklah kecil. Dia adalah seorang  pejuang, santri sekaligus bupati.

KH Syam’un lahir dilahirkan  5 April 1894 di Cilegon, Banten.  Setelah menempuh pendidikan di Mekah dan Mesir, KH Syam’un pulang kampung (1915). Ia lalu mendirikan pesantren di kampung halamannya,  di Citangkil, Cilegon. Al-Khairiyah, namanya. Setelah Beberapa tahun berselang, pesantren ini bertransformasi menjadi madrasah Al-Khairiyah. Sebuah lembaga pendidikan  yang tidak hanya menerapkan pendidikan tradisional (agama)  tapi juga pengetahuan umum. Di pesantren inilah, Ketua Umum MUI, KH Ma’ruf Amin pernah mengenyam ilmu, meski hanya sebenatar.

Dalam perkembangannya, Al-Khairiyah  dikenal sebagai perguruan Islam  yang memelopori pembaruan pendidikan Islam, yang kemudian menyebar di  Jawa hingga Sumatera.

Kendati sibuk dengan pesantren yang dididirikannya, namun KH Syam’un tidak melalaikan tanggungjawabnya sebagai warga negara. Ia ikut turun ke medan tempur untuk mengusir penjajah (Belanda). Bahkan ia akhirnya diangkat menjadi komandan Batalyon (daidancho) PETA (Pembela Tanah Air)  bersama K.H Achmad Chatib oleh Jepang.

Setelah Jepang kalah oleh pasukan sekutu, KH Syam'un kemudian diangkat menjadi ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR) untuk Keresidenan Banten dan Serang (1945). Di bawah komando KH Syam’un, BKR berhasil mengusir tentara Jepang di markas Kenpetai melalui baku tempak di kampung Benggala.

Perjuangannya yang tulus dan tak kenal lelah,  mengantarkannya didapuk sebagai panglima Divisi 1000/1. Divisi ini dibetuk oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) tahun 1945. Dan tugas itupun dilaksanakan  dengan baik. Salah satunya ia berhasil  menumpas Gerakan Dewan Rakyat yang menangkap tokoh-tokoh penting pemerintahan di Banten.

Ketika terjadi penggantian jabatan di Banten (1946),  KH Syam'un dingkat menjadi Bupati Serang. Ia menjadi bupati tapi  tak pernah berhenti berjuang di medan tempur.

Saat TKR mengalamai perubahan dan restrukturisasi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) (!946), Komandemen 1/Jawa Barat berubah menjadi Divisi I/Siliwangi dan dipimpin oleh Panglima Jenderal Mayor A.H Nasution. Divisi ini kemudian membawahi lima brigade. Salah satunya adalah Brigade I/Tirtayasa di Banten yang dipimpin Kolonel KH Syam’un.

Saat terjadi agresi militer Belanda pada 1948-1949, terjadi perang gerilya di berbagai daerah termasuk di Banten.KH Syam'un yang waktu itu bupati Serang ikut bergerilya ke Gunung Cacaban di Anyer. Ketika itu, terjadi peperangan yang sengit antara tentara dan pasukan agresi militer Belanda di sana.

Dua bulan kemudian, KH Syam'un meninggal saat bergerilnya di usia ke 66 karena penyakit yang dideritanya (Aryudi AR/dari berbagai sumber).