Nasional

Keutamaan Kitab Ar-Risalah dalam Pandangan Gus Baha

Sel, 26 Oktober 2021 | 07:00 WIB

Keutamaan Kitab Ar-Risalah dalam Pandangan Gus Baha

​​​​​​​Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Bahauddin Nursalim (Gus Baha) (Foto: istimewa)

Jakarta, NU Online

Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Bahauddin Nursalim (Gus Baha) menjelaskan keutamaan kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi'i. 

 

"Ar-Risalah, nama kitab Imam Syafi'i yang paling terkenal. Beliau diminta menulis kaidah ushul fiqih untuk kajian fiqih; yang meminta namanya Abdurrahman bin Mahdi," jelasnya saat kajian ilmiah di Pesantren Ar-Risalah Lirboyo Kediri Jawa Timur, Senin (25/10/2021).

 

Ia menambahkan, kitab Ar-Risalah ditulis dengan cukup tebal, sampai sekitar 700 halaman. Di sana ada kaidah-kaidah cara menganalisis Al-Qur'an dan hadis.

 

Kitab Ar-Risalah juga membentuk sudut pandang yang jernih terhadap sebuah masalah fikih. Membuka kemungkinan rekayasa fikih untuk kemanfaatan lebih besar.

 

Fakta realnya seperti kebolehan polisi dari perempuan, sekilas tidak boleh. Namun, bagaimana ketika ada masalah berkaitan dengan perempuan. Seperti pemerkosaan yang butuh BAP, pelaku kejahatan dari perempuan dan pendampingan tes urin perempuan. Lagi-lagi jawabannya ada di kitab Ar-Risalah. Di sanalah Imam Syafi'i berargumen.

 

"Berkah kitab Ar-Risalah luar biasa, masyaallah. Akhirnya fiqih kita tidak fiqih harfiah dan yang bisa menjawab tantangan zaman," tegas tokoh asal Rembang ini.

 

Gus Baha menjelaskan kitab Ar-Risalah dikarang atas pemikiran ushul fiqih Imam Syafi'i. Pemikiran ini terbentuk saat ia belajar ke Imam Hasan Assyaibani. Imam Hasan ini punya kebiasaan kalau mengitung uang di tempat umum, ruang tamu. "Kenapa ngumpulin uang banyak begini?" tanya Imam Syafi'i.

 

Imam Hasan hanya bertanya balik, "Berarti saya, orang alim tidak boleh punya uang dan harta?"

 

"Iya, orang alim tidak boleh punya uang," jawab Imam Syafi'i.

 

"Kalau begitu uang ini saya kasih ke orang fasiq biar uangnya dibuat maksiat kepada Allah."

 

Lalu Imam Syafi'i jawab,"Jangan, jangan. Kalau dipakai maksiat."

 

Lalu Imam Hasan tanya balik, "Berarti boleh orag alim punya harta banyak?" 

 

"Boleh-boleh," kata Imam Syafi'i.

 

Gus Baha meneruskan, awalnya Imam Syafi'i datang ke Imam Hasan Assyaibani. "Ini asal-usul mengarang Ar-Risalah. Sejak bertemu Imam Hasan pemikiran Imam Syafi'i berubah menjadi orang yang berpikir ala ushul fiqih. Lama-lama beliau mengarang kitab Ar-Risalah," imbuh Gus Baha.

 

Oleh karenanya, kata Gus Baha, Ar-Risalah adalah nama yang bukan sembarangan, karena mencerminkan keilmuan yang mendalam. Di dalam kitab Ar-Risalah, Imam Syafi'i benar-benar menganalisis cara menggali hukum dari Al-Qur'an dan hadis. 

 

"Ar-Risalah memberikan sudut pandang yang kuat. Barakah kitab Ar-Risalah, yang miskin senang karena tidak ada hisab. Yang kaya juga senang karena memberikan manfaat kepada orang banyak," kata Gus Baha.

 

Gus Baha lalu bercerita bahwa sebenarnya dirinya tidak mau terkenal seperti saat ini. Karena terkenal baginya sangat merepotkan diri. Namun, doa menolak terkenal juga tidak berani.

 

Dalam kacamata kitab Ar-Risalah, terkenal memiliki sisi manfaatnya juga. Masyarakat bisa mengikuti kajian yang membahas hukum Allah tanpa bayar mahal bahkan ada yang gratis via media sosial.

 

"Saya aslinya terkenal juga tidak senang. Saya tidak pernah mengurusi media. Pasrah ke Allah. Karena kalau semua yang terkenal itu mata duitan juga repot umat. Namun, kalau saya terkenal maka saya jadi repot juga," ujarnya.

 

Kitab Ar-Risalah dikaji di banyak pesantren Nahdlatul Ulama. Sebagai bekal seorang santri dalam menggali hukum ketika kembali ke masyarakat.

 

Logika Ar-Risalah juga dipakai Imam Ghazali. Di zaman Imam Ghazali mau jadi ahli fikih tapi tidak boleh. Jadi dokter saja. Alasan Imam Ghazali banyak negara Islam yang kekurangan dokter, akhirnya berobat ke non Muslim.

 

"Berkahnya hidup itu dikawal orang shaleh. Menjadikan azab tidak diturunkan. Ar-Risalah itu jadi inspirasi hukum," tandas Gus Baha.


Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Kendi Setiawan