Nasional

Kesiapan NU Jerman Sambut Abad Kedua NU dan Revolusi Industri 4.0

Sel, 11 Februari 2020 | 23:00 WIB

Kesiapan NU Jerman Sambut Abad Kedua NU dan Revolusi Industri 4.0

Peresmian kantor PCINU Jerman di Landsberger Allee 394, ruang 721. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online
Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jerman saat ini telah mengantongi legalitas lembaga, baik dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sebagai organisasi induk, maupun dari pemerintah Jerman sebagai tempat domisili.
 
Ketua PCINU Jerman, Muhammad Rodlin Billah mengungkapkan setidaknya ada 4 tantangan NU Jerman dalam rangka memasuki abad kedua Nahdlatul Ulama yang sudah berada di depan pintu, sekaligus berbarengan dengan berlangsungnya revolusi industri 4.0.
 
Pertama, proses kaderisasi yang berkesinambungan. 
 
"Sebagian besar Nahdliyin di Jerman telah bekerja secara permanen dalam berbagai bidang, khususnya sains dan teknologi," katanya kepada NU Online, Selasa (11/2).
 
Bidang-bidang keahlian yang didalami di antaranya ialah rancang bangun pesawat, manajemen industri dan logistik untuk menyokong revolusi industri 4.0. Juga data mining serta pengolahan big data untuk pencegahan penyakit kanker, telekomunikasi serat optik berkecepatan tinggi, serta bidang-bidang cutting edge lainnya. 
 
Jalannya roda organisasi PCINU Jerman juga, lanjutnya, tak dapat dilepaskan dari peran serta Nahdliyin yang telah menjadi mukimin. Mereka, jelasnya, memiliki motivasi yang sangat tinggi untuk berkhidmah di tengah kesibukan pekerjaan sehari-hari.
Berkebalikan dengan badan atau organisasi berbasis NU di Indonesia yang biasanya didominasi alumni pesantren, latar belakang Nahdliyin di Jerman justru didominasi alumni non-pesantren dengan sebagian di antaranya dibesarkan dalam kultur NU. 
 
"Ini adalah tantangan pertama dari internal PCINU Jerman untuk segera menyiapkan proses kaderisasi internal yang kontinyu dan menyeluruh," ujarnya.
 
Hal ini dapat dicapai antara lain melalui diadakannya Madrasah Kader NU (MKNU) atas bimbingan PBNU, serta program-progam rutin (darat maupun daring) dai/daiyah NU secara rutin untuk mengkaji kitab-kitab dasar yang biasa diajarkan di pesantren, serta program-program ke-NU-an lainnya.
 
Kedua, NU sebagai wajah Islam moderat untuk Jerman, Eropa, dan dunia. Dari sudut pandang eksternal jamiyah, PCINU Jerman juga memiliki tantangan kedua, yakni dengan maraknya kasus terorisme atau radikalisme atas nama agama dan kasus kekerasan yang terkait dengan imigran dari berbagai daerah konflik.
 
Pemerintah Jerman bersama berbagai organisasi muslim diketahui sedang merumuskan konsep ‘Islam alternatif’ yang dapat terintegrasi dengan baik di tengah masyarakat Jerman. 
 
Sebab, jelasnya, sejauh ini kata ‘Islam’ banyak diasosiasikan dengan negara-negara Timur Tengah yang sebagiannya sedang mengalami konflik ataupun dianggap memiliki masalah HAM.
 
"Berbeda dengan Indonesia, hal ini menjadi peluang besar bagi NU untuk menawarkan konsep serupa ‘Islam Nusantara’, namun untuk konteks negara dan masyarakat Jerman," katanya.
 
Melalui hal semacam inilah, terangnya, NU diharapkan dapat menjadi model penerapan prinsip-prinsip Islam moderat atau wasathiyah tidak hanya bagi Jerman, namun juga Eropa dan bahkan dunia.
 
"Pada gilirannya, gerakan islamophobia yang akhir-akhir ini kembali menguat di Barat dapat tergerus dengan sendirinya," kata pria yang aktif sebagai asisten riset di Karlsruher Institut fuer Technologie itu.
 
Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Nahdliyin juga menjadi tantangan lain bagi NU Jerman. Sebagai negara yang memprakarsai bidang revolusi industri 4.0, Jerman telah cukup lama mempersiapkan infrastruktur maupun SDM-nya untuk menghadapi era disruptif ini.
 
Hal ini, jelas pria yang akrab disapa Gus Oding itu, terlihat dari banyaknya insentif baik dari pemerintah dan industri, baik tingkat lokal, nasional, hingga Uni Eropa, kepada perguruan tinggi untuk bersama-sama menjalankan proyek-proyek penelitian dalam bidang-bidang terkait.
 
Selain itu, lanjutnya, Jerman juga memiliki kebutuhan tinggi akan tenaga kerja disebabkan pertumbuhan demografi yang negatif mengingat rerata per keluarga Jerman memiliki hanya seorang anak.
 
Di samping itu, mahasiswa asing juga banyak mewarnai universitas-universitas terbaik Jerman dengan harapan mereka yang menyelesaikan pendidikan tinggi di sana untuk kemudian bekerja di perusahaan ternama.
 
Hal ini, menurutnya, seyogyanya dipandang sebagai kesempatan baik bagi santriwan-santriwati maupun mahasiswa-mahasiswi dari universitas-universitas NU untuk meneruskan jenjang pendidikan tinggi/pekerjaannya ke Jerman. 
 
"PCINU Jerman tentu diharapkan dapat menjadi jembatan antar berbagai pihak dari masing-masing negara untuk saling mengisi," ucapnya.
 
Terakhir, tantangan yang harus dihadapi oleh NU Jerman adalah kolaborasi dalam menghadapi revolusi industri 4.0. 
 
Pesatnya perkembangan beberapa organisasi atau gerakan diaspora Indonesia maupun diaspora dari negara lainnya di Jerman yang meminjam istilah KH Dian Nafi‘ atmosfernya menjadi menggumpal mengeras sebagai tantangan kepada visi dan misi NU. Juga turut menjadi tantangan tersendiri bagi PCINU Jerman, yakni bagaimana komunikasi serta kolaborasi dalam mencapai kalimat sawa (common ground) antar organisasi dapat terus berlangsung meski, misalnya, terdapat perbedaan ideologi.
 
"Di saat yang sama PCINU Jerman juga dituntut melebarkan sayap kolaborasinya dengan berbagai stiftung atau yayasan dan lembaga, pemerintah maupun non-pemerintah, profesional maupun politik, yang berasal dari Jerman maupun Eropa," katanya.
 
Karenanya, ia menyebut bahwa perjalanan PCINU Jerman masih panjang. Ia memiliki tantangan untuk ‘memasarkan’ potensi uniknya, yang belum tentu dimiliki PCINU lainnya, yang perlu segera dimanfaatkan. 
 
Banyaknya Nahdliyin di Jerman yang memiliki expertise (keahlian) maupun first hand experience dalam berbagai bidang sains dan teknologi, yang dengan senang hati berkhidmah dalam rangka menyambut abad kedua NU, khususnya melalui ‘tarekat’ transformasi digital menyambut revolusi industri 4.0. 
 
"Potensi SDM ini akan lebih terarah bila didukung dengan proses kaderisasi yang berkesinambungan," ujarnya.
 
Selain itu, PCINU Jerman juga diharapkan menjadi jembatan antarberbagai pihak dari Jerman maupun Indonesia untuk saling mengisi, khususnya dalam peningkatan kualitas SDM Nahdliyin di Indonesia serta peran aktif NU dalam mengkontribusikan model Islam Nusantara untuk konteks negara Jerman. 
 
"Yang tak kalah pentingnya, PCINU Jerman juga dituntut untuk terus berkomunikasi dan berkolaborasi dengan baik bersama organisasi lainnya. Hal ini penting mengingat survival rate dalam menghadapi revolusi industri 4.0 bergatung pada kolaborasi dengan berbagai pihak," pungkasnya.
 
 
Pewarta: Syakir NF
Editor: Ibnu Nawawi