Nasional

Kembangkan Pertanian Organik, Cak Fyan: Kebaikannya Kembali ke Kita

Sen, 14 Oktober 2019 | 08:00 WIB

Kembangkan Pertanian Organik, Cak Fyan: Kebaikannya Kembali ke Kita

Muhammad Sofyan Hadi saat berada di lahan pertaniannya di Kudus, Jawa Tengah. (Foto: NU Online/Syaiful Mustaqim)

Kudus, NU Online
Muhammad Sofyan Hadi adalah satu di antara pegiat petani terpadu dari Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Kegemarannya untuk bertani menghadapi berbagai liku-liku. 
 
Pria yang akrab disapa Cak Fyan ini mengisahkan, ketertarikannya dalam dunia pertanian sudah diawali sejak menempuh studi di Surabaya, kemudian berlanjut ketika masuk dunia kerja hingga berkeluarga. Di kota Pahlawan itu, ia terbiasa menanam berbagai jenis tanaman. Apalagi saat harga cabai tinggi, ia berinisiatif menanam sendiri di pot di pekarangan rumah.
 
Waktu itu, ia memperoleh bibit dari Dinas Pertanian Surabaya. Hidup di kota dengan lahan yang luas memang sulit diwujudkan. Sehingga lahan seadanya itu ia manfaatkan untuk bercocok tanam. “Yang penting punya tanaman dan sekaligus hiasan di halaman rumah,” kenangnya.
 
Setelah puluhan tahun tinggal bersama keluarga kecilnya di Surabaya, bapaknya memintanya untuk balik ke desa. Cak Fyan diminta pulang karena orang tua sudah semakin sepuh. Saat itu bapaknya sedang ada aktivitas menjadi mitra bulog untuk suplai beras raskin. Namun permohonan ini tidak lantas disetujuinya mengingat di Surabaya ia sudah merintis usaha. Sebagai alternatif, sepekan atau dua pekan sekali dia mudik ke Kudus.
Pada medio 2016 ia menerima kabar jika bapaknya jatuh di kamar mandi. “Adik saya yang biasa ikut bantu ortu sedang hamil anak pertama. Akhirnya saya memutuskan untuk balik ndeso,” begitu ceritanya.
 
Semenjak di Surabaya, pria yang tinggal di Desa Hadipolo RT. 05 RW. 04 Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus ini memang sudah ada keinginan kembali ke desa. Ia berharap bisa bertani, beternak, dan menekuni dunia perikanan. Keinginan itu juga datang dari dukungan kenalan-kenalan pensiunan dari pejabat di Surabaya. Selain itu ia juga melihat potensi lahan belakang rumahnya cukup luas. Ada tiga perempat hektar belum dikelola dengan maksimal.
 
Di tahun 2016 kegiatan bertani di kampung halamannya sudah dimulai. Awalnya, ia menanam pare. Karena ada masukan dari teman, tanaman yang dimakan berasa pahit ini bisa dibuat keripik yang menyehatkan. Di pinggir tanaman pare waktu itu ditanami cabai. Enam bulan pertama bagus hasilnya, baik produksi maupun penjualan karena di Kudus belum ada yang memproduksi. 

“Produk barulah jadi orang pada penasaran dan orang-orang yang tahu manfaat pare pun membeli. Selain itu saya juga pernah diajak Dinas ikut pameran sampai Jakarta,” katanya.
 
Karena pengaruh cuaca ekstrem tanaman pare yang ditanam jadi mlethek-mlethek (retak-retak) dan mudah hancur. Padahal produk keripik pare untuk pemasaran kemasan premium bentuk buah harus tetap kelihatan dan utuh tidak retak.
 
Gagal bertanam pare kemudian atas masukan teman, lahan yang dimilikinya ditanami jenis empon-empon (serai, jahe, kunyit, dan laos) secara organik. Dipilihnya jenis empon-empon karena serai sangat menguntungkan. Selain waktu tanamnya tidak terlalu lama, peluang pemasarannya juga bagus.
 
Pengelola Tho Ha Farm (TH) ini mengatakan, pada awal menanam empon-empon memang agak repot. Di samping membutuhkan bibit, juga perlu menyesuaikan musim hujan, sehingga tidak butuh banyak air irigasi. Lima bulan pertama panen dirasa sukses, dan langsung dibeli pedagang. Selanjutnya setiap tiga bulan sekali.
 
Tidak perlu menanam lagi karena tunas selalu tumbuh. Awalnya tiga guludan sekarang menjadi setengah hektar. “Alhamdulillah banyak yang membutuhkan serai. Bakulnya jadi pembeli tetap dan ada beberapa warung juga insidentil membeli,” akunya.
 
Di tahun yang sama, akhir bulan Maret 2017 dirinya mendengar kabar jika ada program perikanan budidaya ikan lele bioflok untuk lembaga pendidikan atau pondok pesantren.

 “Kami sekarang ini memiliki 12 kolam buat untuk budidaya ikan lele sistem bioflok. Di sampingnya ada untuk tanaman cabai dan sayuran lainnya,” terang pengelola TH Farm yang bernaung di Yayasan Raudlatul Mu’minin ini.
 
Semenjak mengelola kolam, buangan air setiap pagi dialirkan ke tanaman di kebun sebelah kolam sebagai pupuk organik. Selain serai, jahe, kunyit, dan laos juga ada kemangi, mangga Mahathir, dan jeruk nipis. Sedangkan lokasi di pinggir kebun ditanami pohon kelor. Selain tanaman dan kolam ikan, Cak Fyan menambah ternak ayam kampung unggulan yang baru dirilis dari Balitbangtan Kementerian Pertanian RI.
 
Jika dikalkulasi lahan milik orang tua yang kelolanya sekitar 1 hektar mulai dari tanaman empon-empon, kolam lele, dan ternak ayam kampung.
Ditanya susahnya jadi petani dirinya menjawab jika menghadapi cuaca ekstrim serta  pembeli meminta harga murah. Misalnya jika ada hama tanaman, pengairan sulit, dan ada ayam mati mendadak. Di samping itu karena keterbatasan modal.
 
Senangnya jika harga jual melambung. Jeruk nipis jika di pasaran langka harganya bikin petani tersenyum. “Harga serai kalau pas cuaca ekstrim bagus karena banyak warga kesehatannya menurun.  Belakangan kan banyak warga kelas social midle up kembali ke herbal/ pengobatan tradisional. Inilah kesempatan potensi produk pertanian bisa menjual produksi berkualitas,” terangnya.

Bertani Cukupi Kebutuhan Sehari-hari
 
Sejak 2016 hingga sekarang dengan menggeluti pertanian terpadu sudah mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Di dunia pertanian horti ada ungkapan tanaman empon-empon makan empon-empon, lele makan lele dan ayam makan ayam.

“Hasil empon-empon uangnya sebagian untuk operasional perawatan tanaman. Hasil jualan lele untuk beli pakannya lele, dan hasil jual telur ayam kampung unggulan untuk beli pakannya juga,” urai bapak dua anak ini.

Pria yang memiliki motto: ketika kita bermanfaat untuk orang lain rezeki akan mengikuti ini menambahkan pembeli tetap empon-empon khususnya serai datang dua pekan sekali. “Kita sebutnya uang mingguan. Pembeli jeruk nipis datangnya seminggu sekali, kita sebutnya uang harian. Dan pembeli lele sebulan/dua bulan sekali, kita sebutnya uang bulanan,” sambungnya.

Adapun untuk ayam kampung unggulan hasil telurnya bisa menjual dua hari sekali, dia menyebutnyasebagai uang harian. Sedangkan ayamnya termasuk uang dua bulanan, karena memang pembesaran dijual umur dua bulanan untuk konsumsi warung.

Bagi Cak Fyan, dirinya menekuni usaha pertanian unggulan (organik) selain untuk pribadi juga untuk petani dan masyarakat umum.

“Orientasi saya selain dapat rezeki juga mengajak pemberdayaan sosial dan ekonomi. Setiap warga desa yang miskin sekali pun pasti punya pekarangan di rumahnya. Itu bisa dimanfaatkan dengan maksimal. Untuk tanam dan ternak minimal untuk kebutuhan gizi keluarga sendiri serta ekologi (menjaga tanah tidak rusak karena penggunaan pupuk kimia sintetis yang berlebihan),” tandas pria yang mengidolakan Gus Dur ini.

Di samping pemberdayaan sosial dan ekonomi warga, alumnus Pesantren Al Muayyad Mangkuyudan Surakarta ini juga mempunyai misi untuk membangun jejaring antar petani muda untuk memperkuat posisi tawar petani penghasil pertanian organik.

“Produk berkualitas (sehat) tentu harga berbeda dengan produk biasa. Ini sama dengan transaksi kebaikan. Seperti kata guru saya waktu mondok PP Al Muayyad Mangkuyudan Solo, ketika kita menjual produk baik maka kebaikan akan kembali ke kita,” papar Cak Fyan.

Anak pertama dari enam bersaudara ini mengajak petani muda untuk bertanam secara organik. “Jangan lagi menanam dengan pakai pupuk kimia sintetis. Karena itu sama dengan menjual keburukan, dan pasti akan kembali ke keluarga kita,” katanya.

Apa yang sudah dilakukan Muhammad Sofyan Hadi belumlah dirasa puas. Dirinya masih punya angan-angan untuk memperluas model pertanian terpadu dengan pola tanam organik. Sebab untuk menanam secara organik sebenarnya tidak mahal hanya dibutuhkan tenaga yaitu memanfaatkan kotoran ternak yang tersedia di lingkungan lokal untuk pupuk. Karena selama ini kotoran ternak terbuang mubazir. Angan-angan lain yang juga belum terwujud ialah mempunyai peternakan kambing untuk menambah pengembangan budidaya ayam kampung unggulannya.

Di akhir paparannya ia berharap pemerintah mempunyai kebijakan mendukung pertanian organik sehingga masyarakat bisa mengonsumsi pangan sehat, tidak dipenuhi residu kimia. 
 
 
Kontributor: Syaiful Mustaqim
Editor: Zunus Muhammad