Fragmen

Ahli Pertanian Itu adalah Kiai

Sen, 30 September 2019 | 00:45 WIB

Ahli Pertanian Itu adalah Kiai

Ilustrasi petani singkong. (via Mareen)

"Petani itulah penolong negeri." Dawuh pendiri NU, KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) tersebut menunjukkan bahwa peran petani di Indonesia sangat penting dalam menyediakan bahan makanan setiap hari. Namun, peras keringat, banting tulang, dan kerja keras mereka tidak pernah terbayar lunas dengan yang namanya keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran. Karena mereka lebih sering didera kerugian saat menjual hasil panennya.

Indonesia yang dijuluki negara agraris juga dihadapkan pada fenomena punahnya pertanian yang sesungguhnya mempunyai filosofi dan kearifan lokal yang tinggi. Karena hampir sudah tidak ada generasi muda yang tertarik untuk bertani. Lumbung padi yang mempunyai nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong di tengah masyarakat juga saat ini sudah tidak lagi menjadi tradisi.

Padahal, dari usaha pertanian tersebut, berbagai varietas tanaman dan produk bisa dihasilkan dan dikembangkan untuk kemakmuran rakyat secara luas. Dalam pengembangan, para petani butuh sentuhan negara lewat kebijakan-kebijakan yang mendukung pertanian. Dukungan petani bisa dilihat di Jepang dan sejumlah negara maju, mereka tidak hanya bisa mengembangkan varietas tanaman, tetapi juga mengekspor hasil pertanian dan perkebunan dalam jumlah besar ke negara lain.

Perihal pengembangan varietas hasil tani, di Indonesia pernah ada seorang kiai yang mampu mengembangkan tanaman singkong. Sosok tersebut diungkap oleh Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017). Selain mumpuni dalam bidang agama, kiai memiliki kepedulian sosial yang tinggi, sehingga menjalankan riset dan pengembangan guna memajukan ekonomi masyarakat. Langkah itu dilakukan dengan fasilitas seadanya yang dipersiapkan sendiri tanpa subsidi dari pihak manapun.

Ia adalah Abdul Jamil, salah seorang kiai yang kreatif dan inovatif di bidang pertanian. Dijelaskan Mun’im, ketekunan Kiai Abdul Jamil berhasil membuahkan inovasi baru di bidang persingkongan dengan ditemukannya singkong varitas baru yang diberi nama darul hidayah, yang diambil dari nama pesantren yang dipimpinnya yaitu Pesantren Darul Hidayah di Lampung Utara, Provinsi Lampung.

Temuan ini merupakan revolusi singkong gelombang kedua setelah revolusi pertama dilakukan oleh seorang santri dari Kediri yang bernama Mukibat, 40 tahun yang lalu, sehingga singkong hasil silangannya disebut dengan mukibat yang sangat terkenal.

Kiai Abdul Jamil yang berasal dari Lamongan itu masih kerabat dengan Mukibat, sehingga merasa bertanggung jawab untuk melanjutkan inovasi yang telah dilakukan sang paman. Berbeda dengan inovasi Mukibat yang sulit dibiakkan secara massal karena teknik okulasi.

Sementara inovasi Kiai Abdul Jamil bisa dibiakkan secara massal karena hasil silangan dengan semai biji. Hasilnya pun cukup baik, dalam umur 10 bulan telah mampu menghasilkan 15 kilogram per pohon, sehingga masuk singkong jenis unggul.

Namun menurut Mun’im, temuan kreatif sang kiai itu diabaikan oleh pemerintah. Bahkan surut bersama runtuhnya harga singkong. Akibatnya inovasi yang dilakukan tidak membuahkan kemajauan ekonomi, karena pemerintah tidak membuat pabrik pengolah singkong, atau membuka pasar ekspor.

Tetapi di tengah sikap abai terhadap temuan itu, pucuk dicinta ulama pun tiba, ketika budidaya singkong yang terpuruk itu tiba-tiba bangkit bersama dengan maraknya indutri bioetanol belakangan ini. Tidak ada pilihan lain mayarakat kemudian mencari lagi Kiai Adul Jamil untuk memesan bibit singkong unggul itu secara massal sebagai bahan pembuatan bioetanol.

Temuan tersebut tidak dipatenkan, karena sejak awal Kiai Jamil telah mewakafkan hak ciptanya untuk masyarakat dan umat manusia pada umumnya. Karena menurut Mun’im, sang kiai bukan kapitalis yang berbuat untuk mendapatkan untung, dia seorang sukarelawan yang mendermakan ilmu, tenaga, dan hartanya untuk umat.

Problem pertanian dan petani di Indonesia seolah menjadi agenda yang tidak pernah selesai (unfinished agenda). Bukan hanya dari problem klasik terkait kesejahteraan petani, tetai juga persoalan pertanian sebagai tradisi dan budaya orang-orang Indonesia.

Dalam hal ini Sejarawan NU, KH Agus Sunyoto (2018) mengungkapkan, dahulu anak petani mewarisi lahan pertanian, saat ini tidak ada karena petani di desa sudah tidak mempunyai tanah. "Saya itu tahun 1995 rencana mau bangun sekolah, sekolah menengah pertanian. Tanggapan teman-teman saya, loh kalau bisa jangan bikin sekolah pertanian, kita ini anaknya petani, sudah gak terlalu tertarik dengan pertanian," kata Agus Sunyoto.

Kita tahu, orang tua kita itu rugi terus. Agus Sunyoto ingat ketika tahun 1995, Ketua GP Ansor Kediri, Abu Muslih itu orang tuanya petani. Ketika mereka bincang tentang pertanian, dia sudah menggunakan pemikiran modern. Muslih berbicara ke ibunya, "mak, kita punya sawah 500 meter persegi. Dari luas tersebut, diitung sewa tanah setahun berapa”.

Kemudian membayar tukang yang nyangkulin tanah, nggarem, beli bibit, setelah itu beli pupuk. Lalu beli insektisida, termasuk membayar orang yang bertanam itu. Nanti setelah panen, membayar yang manen padi, setelah itu dijual.

Dengan luas 500 meter persegi, setelah dihitung, rugi 50.000 rupiah. Itu belum dihitung ongkos tenaga, dan lain-lain. Muslih bicara ke emaknya, “Mak, ini kita rugi 50.000. Emaknya hanya menjawab enteng, ‘lah iya, dari dulu memang petani itu rugi. Cuma kalau kita ngikutin untung-rugi, nggak bakal ada lagi orang yang bertani. Jadi sekalipun rugi, petani itu harus tetap ada’.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Kendi Setiawan