Nasional

Kemah Rohis Harus Jadi Gerakan, Bukan Sekedar Program

NU Online  ·  Rabu, 7 November 2018 | 15:30 WIB

Kemah Rohis Harus Jadi Gerakan, Bukan Sekedar Program

Sarasehan nasional perkemahan rohis di Belitung

Belitung, NU Online
Perkemahan Kerohanian Islam (Kemah Rohis) tingkat nasional telah tiga kali diselenggarakan. Sudah saatnya kegiatan dua tahunan ini bukan sekedar program, melainkan harus menjadi sebuah gerakan (movement).

Pernyataan tersebut disampaikan Amin Haedari ketika didaulat menjadi narasumber pada Sarasehan Nasional bertajuk Moderasi Pendidikan Agama Islam. Ia berbicara selaku mantan Direktur PAI yang merintis Kemah Rohis Nasional.

“Kalau program itu monoton. Nah, kalau gerakan itu merupakan kebutuhan,” kata Amin memulai paparan di hadapan peserta sarasehan yang digelar di Ballroom Hotel Grand Hatika Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Rabu (7/11).

Direktur PAI masa bakti 2011-2016 ini mengaku bangga Perkemahan Rohis masih terus dilaksanakan. Secara khusus, ia mengapresiasi Provinsi Bangka Belitung sebagai provinsi pertama di luar Jakarta yang menyelenggarakan Kemah Rohis. “Cukup memberi warna tersendiri dalam penampilan tari kolosal. Meski sebenarnya lebih menarik lagi jika pembukaan di malam hari dengan memainkan lampu seperti Asian Games tempo hari,” kata Amin Haedari.

Menurut dia, berubahnya program menjadi sebuah gerakan merupakan capaian yang patut dijadikan cita-cita Bersama. Sebuah gerakan yang bermula dari program misalnya Program Keluarga Berencana (KB).

“Awalnya memang program, lalu berubah menjadi gerakan. Berubah karena menjadi satu kebutuhan. Ini yang harus kita lakukan untuk pengembangan Rohis,” tandas mantan Direktur PD Pontren ini.

Ciri-ciri gerakan itu, lanjut Amin, bersifat masif. Oleh karenanya, posisi sekolah di daerah menjadi penting. Artinya, Kankemenag dan Kanwil Kemenag daerah harus menjadikan prioritas untuk pembinaan Rohis.

“Ciri kedua, dinamis. Sekarang kita menghadapi persoalan-persoalan seperti radikalisme. Persoalan yang ada di Rohis bukan hanya sekedar persoalan bangsa. Saya sudah ramalkan bahwa isu ini akan terus berkembang. Sekarang mulai nampak muncul ke permukaan,” jelasnya.

Ciri ketiga, lanjut dia, sebuah gerakan itu aktif. Jadi, tidak lagi menunggu arahan dari pusat. “Waktu saya di PD Pontren ada program PBSB. Saya bukan lagi aktif, tapi ofensif. Saking ofensifnya, madrasah pun agak tersisih. Yang punya siswa itu madrasah. Tapi yang punya nama adalah pesantren,” selorohnya.

Ia mengaku menggunakan dana sektor perguruan tinggi untuk pemberdayaan pesantren. “Jadi, itu bukan dari dana Direktorat PD Pontren. Ketika bicara Pospenas, bukan uang Pontren. Tapi lebih banyak dari luar. Dari Kemenpora dan Kemenko Kesra. Saya aktif sekali, tapi ada ofensifnya sedikit,” kata Amin berkelakar.

Pria kelahiran Ciamis, Jawa Barat, ini teringat kisah menggelitik saat dirinya awal-awal menjadi Direktur PAI. “Waktu itu saya ditanya, Pak Amin mau ngapain bikin Kemah Rohis? Saya mau mengislamkan sekolah. Ini kekuatan luar biasa,” kenangnya.

Amin menambahkan, meski Rohis merupakan organisasi nonformal, namun sepanjang sejarah republik ini kekuatan lembaga pendidikan sejatinya ada di nonformal. “Sekalipun Rohis ini nonformal, tapi kekuatannya dahsyat,” tandasnya.

Direktur PAI Rohmat Mulyana Sapdi mengamini pemikiran Amin Haedari. Apa yang sudah dirintis pendahulunya itu patut dilanjutkan. “Saya sudah lama mengenal Pak Amin. Beliau ini senior saya di PAI,” ujarnya seraya tersenyum.

Rohmat yang sebelumnya menjabat Sekretaris Balitbang Diklat ini mengaku terbantu oleh pemikiran Amin Haedari. “Sekarang PR saya di PAI tinggal entengnya saja. Saya tidak perlu mikir berat-berat. Semua sudah dipikir beliau. Saya tinggal eksekusi,” ujarnya jenaka.

Sebagai pendatang baru di PAI, pria kelahiran Tasikmalaya ini hanya butuh kerjasama yang kuat dari para Kasubdit, Kasi, dan Staf di Direktorat PAI. “Saya harap kawan-kawan langsung bergerak. Saya sudah siapkan program baru untuk 2019,” kata Rohmat.(Musthofa Asrori/Muiz)