Nasional MODERASI BERAGAMA

Kebudayaan Tionghoa dalam Tradisi Pesantren

Rab, 17 November 2021 | 03:00 WIB

Kebudayaan Tionghoa dalam Tradisi Pesantren

Barongsai di Pesantren Buntet Cirebon. (Foto: dok. istimewa)

Walimatul Khitan Achmad Zachari Chawi Mujahid, putra K Jimmy Mu’tashim Billah Buntet Pesantren diramaikan dengan kehadiran Barongsai pada Sabtu (13/11/2021) malam. Gelap malam pun menjadi gemerlap dengan adanya arak-arakan tersebut yang dipenuhi dengan lampu-lampu hias. Iring-iringan semakin ramai dengan adanya drum band dan genjring.


Zachawi diarak dari Pondok Pesantren At-Tarbiyatul Wathaniyah (Patwa) Mertapada Kulon hingga ke kediamannya di Pondok Buntet Pesantren. Masyarakat tampak berduyun-duyun antusias melihat tradisi kesenian khas Tionghoa itu. Pasalnya, sudah lebih dari dua tahun, Barongsai tak lagi tampil di Buntet mengingat adanya pandemi Covid-19.


Ahmad Fasya Al-Fayyadl, warga Buntet Pesantren, mengaku terhibur dengan penampilan mereka. Secara indrawi, hal itu didapat setidaknya dari dua hal, yakni irama musiknya yang menghentak dipadu dengan gerakan atraksi para pemain Barongsai yang mampu memanjakan mata.


Selain perihal indrawi, Fasya juga melihat hal yang lebih besar dari sekadar keindahan di pendengaran dan penglihatannya, yakni soal kebudayaan. Ia melihat dua kebudayaan yang sangat berbeda, bisa menyatu dalam satu peristiwa.

 

Satu sisi, walimah khitan merupakan tradisi yang disunnahkan Rasulullah saw, bagian dari kebudayaan Islam yang turun temurun. Namun, di sisi lain, hal tersebut dibumbui dengan budaya Tionghoa yang notabene bukan berasal dari agama Islam.


“Walimah khitanan dengan barongsai ini jadi medium dan wajah toleransi yang sangat nyata. Betapa tidak, pesantren yang menjadi pusat Islam Indonesia menampilkan budaya Tionghoa,” kata mahasiswa pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta itu.


Peristiwa ini, lanjut Fasya, menunjukkan bahwa para kiai pesantren, khususnya Pondok Buntet Pesantren, tidak beragama secara kaku dan tekstual, tetapi lebih kultural, mengakomodasi dan mengafirmasi produk budaya yang berkembang di daerah untuk mengembangkan dakwah Islam.


Mula Barongsai Tampil di Pesantren

Seakan sudah menjadi satu kewajiban, acara khitanan massal dalam rangka Haul Almarhumin Sesepuh dan Warga Pondok Buntet Pesantren Cirebon selalu menghadirkan Barongsai, selain marching band dan drum band dari berbagai madrasah dan pesantren. Hal itu sudah seperti menjadi tradisi sendiri di Buntet Pesantren semenjak medio dasawarsa awal di milenium kedua ini.


Tradisi tersebut bermula dari kedekatan para kiai Buntet dengan masyarakat Tionghoa. Sebagaimana diketahui, Cirebon merupakan kota metropolis sejak dahulu. Kota ini tidak saja dihuni oleh masyarakat Jawa dan Sunda, tetapi banyak juga dari Arab dan China.


Saking dekatnya, warga Tionghoa ingin turut berkontribusi di pesantren. Mereka pun berani menampilkan diri dan unjuk gigi di hadapan publik selepas KH Abdurrahman Wahid menjadi Presiden Indonesia. Sebab, Gus Dur, sapaan akrabnya, menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 tentang pencabutan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 mengenai pelarangan Tahun Baru Imlek di tempat umum.


Ahmad Rofahan, ketua panitia Khitanan Massal Haul Almarhumin Sesepuh dan Warga Pondok Buntet Pesantren Tahun 2005, mengungkapkan bahwa penampilan Barongsai tersebut sebagai bentuk terima kasih atas langkah Gus Dur untuk mengembalikan hak-hak Tionghoa sebagai sesama Warga Negara Indonesia.


"Alasannya pertama karena ingin mengucapkan terima kasih ke Gus Dur,” katanya mengutip pernyataan Bernard, Ketua Barongsai Kelabang saat itu dan pengurus Perhimpunan Indonesia Tionghoa (Inti).


Bernard juga mengusulkan penampilan Barongsai dalam Khitanan Massal itu sebagai bentuk terima kasih kepada para kiai di Pondok Buntet Pesantren. Pasalnya, ada orang-orang Tionghoa yang mempercayai para kiai di Buntet sebagai 'benteng' bagi mereka. Bukan saja di bidang ekonomi dalam mendukung usaha mereka, sampai hal-hal gaib seperti santet yang terkadang mereka alami sendiri.


Pada awalnya, Bernard mengetahui ada kegiatan khitanan massal dalam rangkaian Haul Almarhumin Sesepuh dan Warga Pondok Buntet Pesantren. Mendengar itu, ia menyampaikan usulannya untuk menampilkan barongsai dalam kegiatan tersebut kepada KH Hasanuddin Busyrol Karim. “Kalau butuh Barongsai ke saya langsung,” kata Rofahan mengutip cerita yang ia terima dari Kiai Hasan.


Menanggapi cerita tersebut, Rofahan sebagai ketua panitia bidang khitanan massal itu langsung segera menghubungi Bernard untuk menindaklanjuti usulan tersebut. Saat menerima usulan itu, ia tidak memiliki pandangan yang kontra akan hal itu. Terbukti, kehadiran Barongsai itu tidak bertepuk sebelah tangan.


Rofahan mengatakan, bahwa Bernard tidak meminta uang sepeser pun dan tidak minta dibayar. Bahkan, ia pun tidak menerima pembiayaan yang sudah disiapkan pihak panitia Haul Almarhumin Sesepuh dan Warga Pondok Buntet Pesantren yang sudah menyiapkan biaya untuk itu.


Lebih dari itu, Bernard sudah mewanti-wanti agar kembali mengundang Barongsai yang dipimpinnya lagi di tahun-tahun berikutnya guna menjaga silaturahim agar tidak putus. Tak pelak, kebudayaan ini terus tampil saban tahunnya dalam tradisi Walimatul Khitan itu hingga pandemi Covid-19 menghentikannya karena pelarangan adanya kerumunan.

 

“Oleh masyarakat dijadikan sebuah kewajiban. Khitanan Massal tanpa barongsai tidak menarik. Di kita menjadi kebiasaan,” ujar Rofahan.


Mungkin, katanya, saat itu merupakan pertama kalinya barongsai masuk pesantren. Rofahan menjelaskan bahwa masyarakat Pondok Buntet Pesantren dan sekitarnya sangat senang karena belum pernah melihat Barongsai mengingat di tahun-tahun sebelumnya belum terbuka mengenai penampilan-penampilan dari kebudayaan Tionghoa mengingat adanya pelarangan.


Rofahan juga menyampaikan bahwa kiai-kiai tidak bermasalah dengan adanya penampilan Barongsai tersebut. Apalagi, Bernard sebagai orang yang membawa pasukan pemain Barongsai itu mengajak kesemuanya untuk bersalaman dan mencium tangan para kiai.


“Seluruh pengurus Barongsai harus salaman cium tangan ke para kiai Buntet. Ini guru saya semua,” jelas Alumni Program Magister Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) itu, mengutip Bernard.


Oleh karena itu, Rofahan melihat bahwa keluarga Pondok Buntet Pesantren sudah terbiasa berinteraksi dengan masyarakat non-Muslim. Ia juga berulang kali menghadiri acara Imlek dan undangan Inti. “Ada beberapa orang Tionghoa yang memang dekat. Bahkan ada yang masuk Islam, pengusaha container,” katanya.


Antara pesantren dan masyarakat Tionghoa juga tidak pernah ada masalah. Apalagi Buntet Pesantren memiliki kedekatan yang sangat erat. Sebab, leluhur para kiai Buntet memiliki ikatan dengan Tionghoa. Selain diyakini, bahwa Sunan Gunung Jati memiliki seorang istri yang berasal dari Tirai Bambu itu, juga nenek dari KH Abbas Abdul Jamil juga merupakan keturunan Tionghoa.


Sementara itu, masuknya Barongsai masuk pesantren juga memberikan wawasan tersendiri bagi para pemainnya, khususnya mengenai budaya dan tradisi pesantren. Herman Aan, salah satu pemain Barongsai dari Ciledug, Kabupaten Cirebon, mengungkapkan hal tersebut. Karenanya, ia mengaku sangat bersemangat dengan adanya undangan untuk penampilan di Pondok Buntet Pesantren.


Ia juga menuturkan bahwa ada pemain Barongsai yang beragama Islam. Kelompoknya terbuka dengan masyarakat Muslim untuk bergabung menjadi bagian di dalamnya. Jika pada awalnya ada ritual khusus untuk bermain Barongsai saat di kelenteng, untuk penampilan tertentu hal tersebut ditiadakan.


Baginya, penampilan Barongsai di pesantren tidak ada persoalan. Sebab, kelenteng juga menempatkan Barongsai sebagai bagian dari bidang kebudayaan, bukan bagian ritual keagamaan. “Dalam menampilkan Barongsai di kelenteng memang ada ritual seperti memohon izin. Tetapi dalam situasi sekarang tidak ada ritual khususnya,” katanya.


Pada mulanya, Barongsai ditampilkan dalam rangka untuk mengusir roh jahat bernama Nian yang kerap memakan ternak dan mengganggu manusia. Nian ini, katanya, takut terhadap anak kecil yang memakai pakaian merah dan berumbai-rumbai. “Akhirnya untuk mengusir roh jahat itu menggunakan pakaian warna merah diiringi dengan tabuhan tambur dan petasan,” katanya.


Pewarta: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad


Konten ini hasil kerja sama NU Online dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI