Nasional

Kebijakan Pemerintah Tangani Covid-19 Dinilai Antisains

Kam, 4 Juni 2020 | 19:45 WIB

Kebijakan Pemerintah Tangani Covid-19 Dinilai Antisains

Indonesia menghadapi ketimpangan risiko, di mana setiap daerah memiliki risiko yang berbeda sehingga data di setiap daerah sangat diperlukan agar penanganan pandemi Covid-19 efektif.

Jakarta, NU Online

Kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam penanganan Covid-19 masih bersifat antisains. Hal itu membuat kebijakan saat ini terkesan tertatih-tatih.

 

Demikian diungkapkan oleh Ketua Umum Jurnalis Bencana dan Krisis Indonesia, Ahmad Arif dalam Webinar yang diadakan oleh INFID, Rabu (3/6). Webinar ini bekerjasama dengan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pencapaian SDGs.

 

Menurut Ahmad Arif, pengambilan data dan pelaporan bermasalah terkait Covid-19 yang dilanjutkan penggunaan data sebagai basis kebijakan juga belum dilakukan. "Padahal data adalah hal fundamental dalam menghadapi bencana pandemi," kata Ahmad Arif.

 

Ahmad Arif juga menekankan bahwa Indonesia menghadapi ketimpangan risiko, di mana setiap daerah memiliki risiko yang berbeda sehingga data di setiap daerah sangat diperlukan agar penanganan pandemi Covid-19 efektif.

 

Sulitnya akses informasi layanan perempuan dan anak

Dalam diskusi yang sama, Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan, Zumrotin K Susilo memaparkan temuan Yayasan Kesehatan Perempuan selama masa pandemi Covid-19. Ditemukan kesulitan masyarakat untuk mengakses informasi tentang layanan-layanan untuk perempuan dan anak, terutama layanan untuk ibu hamil, alat kontrasepsi, dan imunisasi untuk anak-anak.

 

"Padahal, kesehatan reproduksi akan berdampak pada kualitas generasi selanjutnya. Yang mendesak juga dalam penanganan pandemi dan Reformasi Kesehatan adalah bagaimana menerapkan paradigma preventif sebagai budaya baru," paparnya.

 

Zumrotin menyatakan pentingnya pelibatan multipihak seperti psikolog dari universitas setempat untuk mendampingi warga di daerah, tidak menunggu pendampingan psikologi dari pusat.

 

Mickael Bobby Hoelman, Dewan Jaminan Sosial Nasional RI mengungkapkan jika melihat peta jalan Sistem Jaminan Sosial Nasional, realisasi kepesertaan baru mencapai 87 persen dari target. Perluasan kepesertaan jaminan sosial kesehatan yang akan dilakukan harapannya bisa membantu masyarakat dalam mengakses fasilitas kesehatan.

 

Selain itu, daerah juga perlu memerhatikan ketersediaan fasilitas kesehatannya, terutama perawatan yang dibutuhkan oleh setiap orang khususnya di masa pandemi. Mickael menekankan perlunya meninjau pembiayaan rumah sakit untuk dapat memastikan perlindungan kesehatan bagi warga, sehingga dapat berjalan dengan baik dan optimal.

 

Diskusi diadakan karena mendekati hari ke-100 penanganan Covid-19, Pemerintah tampak telah berupaya mengeluarkan segala kemampuan dalam penanganan Covid-19. Namun demikian dengan terus bertambahnya daerah terdampak hingga 418 kabupaten dan kota dari total 514 kabupaten dan kota di Indonesia, perhatian pemerintah penanganan Covid-19 patut dipertanyakan. Terlebih adanya instruksi Presiden Jokowi mengenai target tes massal sebanyak 10.000 tes per hari.

 

Presiden Jokowi juga telah mencanangkan Reformasi Kesehatan, dan mengakui ada banyak kelemahan dalam sistem kesehatan. Pandemi Covid-19, menjadi ujian terberat yang belum pernah dialami oleh sistem kesehatan Indonesia. Sistem kesehatan terbukti gagap merespons Covid-19, dan tidak siap dalam menghadapi penyakit menular berbahaya dalam skala cepat dan luas.

 

Fakta lain menunjukkan, bahwa jumlah tenaga kesehatan yang meninggal karena Covid-19 terus meningkat. Dalam APBN dan Rencana Kerja Pemerintah 2021, tema Reformasi Kesehatan mendapatkan prioritas. Diskusi mencoba mengurai masalah utama kesehatan apa yang mau dipecahkan, bagaimana cakupannya, serta bagaimana reformasi kesehatan akan dimulai dan dilakukan?

 

Dipandu oleh Bona Tua, Program Officer SDGs INFID, diskusi menghadirkan lima narasumber. Selain Ahmad Arif,  Zumrotin K Susilo, dan Mickael Bobby Hoelman, turut berbicara Deputi Menteri PPN/Kepala Bappenas Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan, Subandi Sardjoko; dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono.

 

Para pembicara menegaskan bahwa Reformasi Kesehatan tidak hanya berbicara mengenai kapasitas dan fasilitas kesehatan seperti obat farmasi, rumah sakit, dokter dan perawat. Melainkan cakupan yang lebih luas yaitu kesehatan masyarakat secara menyeluruh. Di mana masyarakat terlibat langsung dan menjadi kunci utama penentu arah kebijakan Reformasi Kesehatan di Indonesia.

 

Editor: Kendi Setiawan