Nasional

Kebijakan Full Day School Dinilai Bias Kultur Masyarakat Urban

NU Online  ·  Selasa, 9 Agustus 2016 | 13:30 WIB

Kebijakan Full Day School Dinilai Bias Kultur Masyarakat Urban

Ilustrasi (www.duniadosen.com)

Jakarta, NU Online
Rencana perpanjangan jam sekolah dasar dan menengah atau yang ramai disebut sebagai full day school yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menuai banyak protes dari berbagai kalangan. Buntutnya, melalui konferensi pers di Jakarta, Selasa (9/8), Muhadjir akan menarik kembali wacana penerapan kebijakan tersebut bila masyarakat keberatan.

“Saya berterima kasih bila kebijakan ini memang dibatalkan. Tidak jadi diterapkan. Dan diganti kebijakan baru,” kata Wakil Sekjen PBNU H Masduki Baidlowi, Selasa.

Mantan anggota DPR RI Komisi X ini mengingatkan, penerapan full day school bila jadi diterapkan akan memiliki implikasi yang sangat besar karena tak selaras dengan kondisi objektif di masyarakat. Menurutnya, ide ini bias sudut pandang masyarakat kota.

Mendikbud mengaku full day school terinspirasi dari Finlandia. Alasannya, untuk membangun karakter anak karena tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orang tua mereka masih belum pulang dari kerja. Muhadjir menilai, dengan begitu anak akan lebih banyak di sekolah ketimbang di swalayan atau mal.

Masduki memandang, pemikiran itu sangat bias masyarakat urban. Padahal, di Tanah Air, antara desa dan kota di Indonesia memiliki perbedaan kultur yang cukup jauh, termasuk dalam hal pendidikan. “Finlandia adalah negara maju yang tak memiliki problem kultural. Sebagaimana umumnya negara-negara di Eropa, antara kota dan desa di Finlandia kondisinya hampir sama. Nah, ini beda dengan Indonesia,” ujarnya.

Di desa-desa, tambahnya, sampai saat ini sistem pendidikan “pagi sekolah dan sore mengaji diniyah” masih berlangsung dengan baik. Menurutnya, budaya ini bagus dalam memberi pendidikan agama dan karakter kepada anak.

Risiko Radikalisme


Masduki juga membalik argumen Mendikbud yang beralasan bahwa full day school akan menghindarkan anak dari pendidikan agama yang menyimpang di luar sekolah. “Berdasarkan hasil penelitian oleh tim Departemen Agama (Kemenag, red) dan Diknas kira-kira dua tahun yang lalu, 30 persen anak-anak sekolah negeri baik SD, SMP, SMA, terutama yang SMA—karena fokus penelitian pada SMA—mengidap paham radikal. Ini data penelitian, lho,” paparnya.

Ia menjelaskan bahwa data tersebut adalah cambukan bagi Pemerintah dan bukti gagalnya pendidikan agama di sekolah. Sekolah, kata Masduki, sering tak memberi kepuasan belajar agama. Akibatnya, peserta didik mencari alternatif pendidikan agama dari rohis yang cenderung juga 'liar' dan karenanya potensial memberi pengaruh ajaran radikalisme.

“Jika begini, penerapan full day school seolah membiarkan ajaran radikal ini terlegitimasi (untuk berkembang) sementara madrasah diniyah yang berjalan selama ini terpaksa gulung tikar,” paparnya.

Bila yang diinginkan adalah penguatan pendidikan karakter, Masduki mengusulkan agar Muhadjir melanjutkan program kurikulum yang dicanangkan Kemendikbud era kepemimpinan Mohammad Nuh. Baginya, kebijakan yang menghabiskan anggaran sekitar 700 miliar tersebut relevan karena memiliki semangat membangun akhlak. (Mahbib)