Nasional

Katib Aam: Pengertian Akhlak Mulai Terdistorsi

NU Online  ·  Ahad, 24 Maret 2013 | 04:31 WIB

Yogyakarta, NU Online
“Eksis tidaknya suatu negara sangat ditentukan oleh karakternya” demikian kata KH Malik Madani, katib aam PBNU membuka pemaparannya dalam seminar sebuah nasional pada Kamis (21/03) di Yogyakarta.<>

Kiai Malik, begitu akrab disapa, menegaskan bahwa karakter bangsa yang perlu dibangun adalah apa yang di pesantren disebut dengan akhlak. Namun, menurutnya istilah akhlak di Indonesia sudah mulai terdistorsi. Akhlak telah dipahami sebagai sebuah etiket dalam pergaulan. 

“Orang yang ber-injih-injih itu disebut berakhlak. Sehingga orang Madura yang kasar itu dikatakan tidak berakhlak. Bahkan koruptor pun dikatakan memiliki akhlak yang baik,” tegas Malik di tengah-tengah hadirin yang memenuhi ruangan convention hall UIN Sunan Kalijaga.

Dalam memaparkan pengertian karakter atau akhlak, Malik menyitir salah satu definisi akhlak yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali. 

“Pesantren merumuskan akhlak salah satunya dengan ungkapan Hujjatul Islam, al-Ghazali, bahwa akhlak itu prilaku spontan yang tanpa butuh pemikiran dan tidak direkayasa,” tandasnya. 

Di akhir penyajiannya tentang peran pesantren dalam membangun karakter bangsa, Malik menegaskan bahwa pesantren hidup dan bergumul di tengah-tengah masyarakat yang sangat kompleks. Sedangkan apa yang dialami oleh masyarakat, pasti berpengaruh terhadap pesantren. Dan hal itu merupakan tantangan tersendiri bagi pesantren.  

Sementara itu Zaini Rahman, anggota DPR RI mengatakan pesantren selalu hadir, menyelamatkan bangsa ini. 

Zaini mempertegas, salah satu bukti peran pesantren yang secara otomatis juga merupakan peran NU adalah ketika NU memberikan pengesahan terhadap posisi Soekarno sebagai presiden pertama di Indonesia. Padahal menurutnya, sebenarnya keputusan itu lahir dari kaidah Fiqh yang sederhana yang menyatakan bahwa jika seorang perempuan tidak memiliki wali, maka ketika ia akan menikah, hakimlah yang dapat menjadi walinya.  Hakim tentu ada dalam sebuah negara yang sah. Jika pucuk pimpinan negaranya belum sah, maka secara otomatis bawahannya juga belum sah, termasuk pula hakim. Dan pernikahan yang menggunakan wali hakim juga tidak akan sah. 

Tak hanya itu, Zaini juga menyinggung perdebatan seputar apakah Indonesia ini negara Islam atau bukan. Menurut Zaini, dalam tema ini NU “Indonesia adalah darul Islam (rumah Islam, red.). Meskipun bukan negara Islam, tapi Indonesia membiarkan syari’at Islam diterapkan di sini,” ungkap Zaini.  

“Dari pesantren selalu lahir kaidah atau cara pandang yang selalu menjadi penyelamat dalam setiap momentum. Jadi bisa kita katakan, negara ini tidak ada tanpa pesantren,” tandasnya. 

Redaktur   : Mukafi Niam
Kontributor: Nur Hasanatul Hafshaniyah