Nasional

Kaleidoskop 2019: ‘Proyek Semalam’ Jaminan Produk Halal

Sen, 30 Desember 2019 | 11:30 WIB

Kaleidoskop 2019: ‘Proyek Semalam’ Jaminan Produk Halal

Ilustrasi jaminan produk halal di Indonesia.

Jakarta, NU Online
Masalah sertifikasi halal berawal dari masa pemerintahan Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono (SBY) pada 17 Oktober 2014 lalu. SBY menandatangani lembar negara yang berisi pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH). UU ini berlaku per tanggal disahkan dan diundangkan sebagaimana Pasal 68 pada UU JPH.

UU JPH ini mewajibkan sertifikasi halal pada produk berupa barang atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Sedangkan proses produk halal (PPH) meliputi rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan produk mulai dari penyediaan bahan baku, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, hingga penyajian produk.

Kewajiban sertifikasi halal ini berlaku per 17 Oktober 2019, lima tahun setelah undang-undang disahkan sebagaimana amanat Pasal 67 pada UU JPH.

Dalam rentang lima tahun, pemerintah diharapkan memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan diri melalui infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) dalam menjalankan layanan sertifikasi halal sebagaimana amanat UU. Pasalnya, layanan sertifikasi halal mengharuskan adanya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), lembaga pemeriksa halal (LPH) yang berbadan hukum dan terakreditasi serta memiliki auditor halal minimal tiga orang yang tersertifikasi MUI (ini sudah masalah sendiri) dan laboratorium.
 
Adapun alur perolehan sertifikat halal bagi pelaku usaha adalah pengajuan permohonan sertifikat halal kepada BPJPH Kementerian Agama (Kemenag) RI, penetapan LPH oleh BPJPH untuk memeriksa atau menguji kehalalan produk, pemeriksaan kehalalan produk oleh auditor halal, penyerahan hasil pemeriksaan oleh LPH kepada BPJPH untuk disampaikan kepada MUI, sidang fatwa halal oleh MUI paling lambat 30 hari sejak menerima hasil pemeriksaan, penyerahan putusan penetapan halal produk oleh MUI kepada BPJPH, dan terakhir penerbitan sertifikat halal oleh BPJPH bagi pelaku usaha yang dinilai sesuai Undang-undang.

BPJPH menerbitkan sertifikat halal bagi pelaku usaha maksimal tujuh hari sejak putusan halal diterima dari MUI. BPJPH juga wajib melakukan publikasi. Namun, jika dianggap tidak layak, BPJPH mengembalikan pengajuan sertifikat halal disertakan dengan sejumlah alasan kepada pelaku usaha.

Pada Oktober 2017, Menag RI Lukman Hakim Saifuddin ketika itu meresmikan BPJPH. Peresmian badan ini menandai pengambilalihan otoritas penerbitan sertifikat halal yang semula ada di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dengan waktu yang tersisa, BPJPH diharapkan melakukan sosialisasi kepada pelaku usaha; membentuk; dan mengawasi LPH untuk melayani sertifikasi halal dengan cepat sekira 1,6 juta pengusaha kecil.

UU mengamanahkan BPJPH untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH; menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH; menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk; melakukan registrasi sertifikat halal pada produk luar negeri; melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal; melakukan akreditasi terhadap LPH; melakukan registrasi auditor halal; melakukan pengawasan terhadap JPH; melakukan pembinaan auditor halal; dan melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.

Pemerintah tampak lamban dalam merespons UU Tentang JPH. Sementara itu banyak sekali persiapan infrastruktur dan SDM yang harus terpenuhi. Hampir lima tahun setelah diundangkan, pemerintah baru mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 31 tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Presiden Jokowi baru menandatangani PP Nomor 31 tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU JPH pada 29 April 2019 dan diundangkan pada 3 Mei 2019. 

Itu artinya, Peraturan Pemerintah keluar kurang dari enam bulan sebelum kewajiban sertifikat halal berlaku, waktu yang sangat singkat untuk BPJPH. Tetapi Presiden Jokowi sebelumnya pada Ahad 3 Maret 2019 ketika menyampaikan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang UU JPH berharap usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) seperti tukang bakso, pedagang mi ayam, dan sebagainya dapat mengurus perizinan dengan mudah; dapat selesai dalam waktu sehari tanpa lama hingga berbulan-bulan; dan bebas pungutan biaya.

Dalam waktu kurang dari enam bulan, LPH yang terakreditasi diharuskan untuk mengangkat auditor halal dengan kriteria warga negara Indonesia (WNI); beragama Islam; berpendidikan S1 minimal di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi; memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam; mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan atau golongan; dan memperoleh sertifikat dari MUI sebagaimana diatur pada Pasal 40 ayat 2 PP Nomor 31 tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang JPH. Sedangkan LPH terakreditasi merupakan masalah sendiri dan membutuhkan waktu sendiri.

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemenko PMK) yang selama ini mendukung persiapan JPH merasakan upaya kementerian dan lembaga terkait berjalan di tempat. Kemenko PMK menginsiasi pertemuan pada 8 Agustus 2019 yang melibatkan Kemenag, JPH, ormas Islam, LPPOM MUI yang juga ormas, LPH yang ada, dan pelaku usaha di Kantor Kemenko PMK, Jakarta Pusat. Kemenko PMK mendiskusikan bersama masalah seputar JPH, pembentukan LPH, sertifikasi dan ujian auditor. Kemenko PMK juga mendorong pembentukan LPH dengan waktu tersisa kurang dari tiga bulan sampai kewajiban sertifikat halal produk per 17 Oktober 2019.

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah, sebagaimana dikutip Tirto.id pada 10 Oktober 2019, meminta pemerintah menangguhkan pemberlakuan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang JPH karena memandang ketidaksiapan Kemenag dan BPJPH. IHW meminta pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) JPH agar tidak memaksakan pemberlakuan UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang JPH per 17 Oktober 2019.

Menag RI Lukman Saifuddin, sebagaimana dikutip NU Online pada 17 Oktober 2019, menyadari bahwa BPJPH belum dapat berjalan saat kewajiban sertifikasi halal ini berlaku per 17 Oktober 2019. Menurutnya, UU tentang JPH tetap harus berjalan, tetapi tanpa penegakan hukum terkait penerapan sertifikasi halal. Ia mengatakan, penangguhan sanksi tersebut berlaku sampai 2024 mendatang. Pemerintah akan terus mematangkan persiapan  SDM dan infrastruktur yang masih minim pada  17 Oktober 2019 lalu di samping bimbingan dan sosialisasi.

"Lima tahun ini tidak ada penegakan hukum, tapi dengan persuasif memberlakukan pembinaan, memberikan sosialisasi, dan lain-lain untuk pelaku usaha," kata Lukman.

Pemerintahan Jokowi jilid I selesai pada paruh kedua Oktober 2019. Kabinet Jokowi jilid II dilantik pada 20 Oktober 2019. Menteri Agama berganti. Masalah yang dihadapi masih sama. BPJPH menghadapi kendala lain. Ia berkejaran dengan waktu. Soal tarif perizinan sertifikasi halal dan pemeriksaan halal belum diatur seperti disampaikan Ikhsan Abdullah yang dikutip Tirto.id. Fachrul Razi, Menag RI pada Kabinet Jokowi Jilid II, mengeluarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 982 Tahun 2019 Tentang Layanan Sertifikasi Halal. Keputusan yang ditandatangani Menag pada 12 November 2019 ini salah satunya mengatur tarif untuk sementara yang mengikuti besaran tarif layanan sertifikasi halal di MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) sebagai LPH.

Menurut Ikhsan, layanan sertifikasi halal tetap tidak dapat memadai per 17 Oktober 2019 meski mendayagunakan auditor MUI yang kini berjumlah 1.065. kenapa? Mereka akan kesulitan memeriksa 1,6 juta produk dari pelaku usaha. 

“Dengan kapasitas itu, kalau 1 bulan satu orang 1-3 produk saja perlu waktu 8-10 tahun,” ucap Ikhsan seperti dikutip Tirto.id.

Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, Mastuki HS, mengatakan bahwa UU tentang JPH sudah diketok dan sudah berjalan. Tidak mungkin mundur lagi. Adapun soal ketidaksiapan BPJPH menurutnya cukup “wajar.” Pasalnya, BPJPH harus berkejaran dengan waktu dan “dipaksa” untuk membuat proyek dalam “semalam.”

“Benarkah BPJPH belum siap melaksanakan mandat Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal? Jika 17 Oktober 2019 kewajiban bersertifikat halal belum bisa dilaksanakan, apa solusinya? Jawaban klise bisa disampaikan: Bagaimana mungkin BPJPH bisa melaksanakan tugas berat ini wong perangkat regulasinya belum lengkap,” tulis Mastuki dalam opininya di nu.or.id tertanggal 7 Oktober 2019.

“Coba hitung mundur, meski UU JPH diundangkan 2014 tetapi aturan turunannya berupa Peraturan Pemerintah (PP) baru ditandatangani Presiden Jokowi pada 29 April 2019, dan diundangkan pada 3 Mei 2019. Sementara banyak pasal dalam UU JPH maupun PP memberi amanat untuk “diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Agama (PMA),” lanjutnya. 

Ia menambahkan, meski pejabat dan staf BPJPH menyiapkan draf PMA secara paralel saat ‘menunggu’ keluarnya PP, klausul dan norma yang dirancang dalam Rancangan PMA (RPMA) cukup banyak. Sedikitnya 15 Pasal dalam PP dan 12 Pasal di UU JPH yang langsung mengamanatkan ke PMA untuk pengaturan teknis. Akibatnya, PMA terpaksa berkali-kali mengalami bongkar pasang. Entah berapa kali rapat, kordinasi, FGD, dan pertemuan digelar untuk membahas draf atau rancangan PMA. Baik dengan kementerian atau lembaga atau instansi terkait maupun dengan pakar dan unit internal Kemenag.

“Banyak pihak yang konsen dengan halal. Presiden, Wapres, MUI, para menteri, perguruan tinggi, pemda, ormas keagamaan, para pelaku usaha, dan dunia bisnis. Untuk memastikan layanan sertifikasi halal dipersiapkan dengan optimal, konsolidasi internal dan koordinasi serta komunikasi lintas instansi mesti harus tempuh. Kepalang tanggung. Amanat UU mesti dijalankan. Rawe-rawe rantas malang-malang putung. Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang,” kata Mastuki HS.

Pewarta: Alhafiz Kurniawan
Editor: Muchlishon