Nasional

Jadi Islam Tak Harus Jadi Arab

NU Online  ·  Ahad, 19 Agustus 2018 | 21:00 WIB

Jadi Islam Tak Harus Jadi Arab

Umat Islam di Indonesia ber-Islam tanpa meninggalkan identitas

Jakarta, NU Online
Nabi Muhammad Saw adalah sosok yang memiliki toleransi tinggi terhadap bangsa dan agama lain. Bentuk toleransi Nabi termasuk ketika datang beberapa sahabat yang non-Muslim dari negara lain lalu mereka masuk Islam, Nabi memperbolehkan nama bangsa mereka disertakan sebagai nama belakang.

Hal itu diungkapkan oleh Pengasuh Pesantren Sabilurrosyad, Malang yang juga Ketua PWNU Jawa Timur, KH Marzuqi Mustamar seperti dalam rekaman video Kita Islam, Kita Indonesia.

“Tercatat dalam sejarah Salman yang setelah masuk Islam tetap memberi nama tambahan di belakanngya yaitu Salman Alfarizi. (Artinya) Salman yang berbangsa Persi. Suab yang berasal dari Romawi boleh menyertakan nama Italia-nya di belakang namannya, lalu dikenal dengan nama Suhaib Arrumi,” kata Kiai Marzuqi pada video upacara peringatan HUT ke-73 RI saat menjadi pembina upacara HUT ke-73 RI di Pesantren Sabilurrosyad, Malang, Jawa Timur, Jumat (17/8). 


Selain itu, Billal bin Rabbah yang berasal dari Abassah boleh menyertakan di belakang namanya menjadi Billal bin Rabbah Al-Habsi. “Tentu apabila Nabi bertemu kita dari bangsa Indonesia, Nabi ngga akan melarang, apabila menyebut misalnya Marzuqi Al-Indonisi,” lanjut kiai yang juga Ketua PWNU Jawa Timur ini.

Dari kisah-kisah ini, kata Kiai Marzuqi, Islam tidak menghilangkan kebangsaannya, Islam tidak menghilangkan kebangsaan seseorang. Masuk Islam tidak harus kehilangan jati diri bangsanya. Masuk Islam tidak harus kehilangan karakter bangsanya. Masuk Islam juga tidak harus kehilangan identitas bangsanya.

Kiai Marzuqi juga mengutip pernyataan Bung Karno yang mengatakan, “Hai orang Hindu kalau kamu Hindu jadilah orang Hindu, jangan jadi India. Hai orang Kristen, kalau kamu Kristen jadilah orang Kristen jangan jadi orang Yahudi atau Israel. Hai orang Islam, kalau kamu Islam jadilah orang Islam jangan jadi orang Arab.” 

Musuh terbesar kita kata Bung Karno adalah rakyat sendiri, namun mereka berafisiliasi asing, bekerja berpikir untuk kepentingan asing. “Mereka mabok dengan budaya asing, berdakwah dengan model dakwah asing, yang itu belum tentu cocok dengan kondisi Indonesia, karena mabok budanyanya atau mabok agamanya,” lanjutnya.

Menurut Kiai Marzuqi, mereka rela membunuh antarsesama anak bangsa, atas nama dakwah atas nama budaya dan peradaban. Hal seperti itulah yang menjadi musuh besar bangsa Indonesia. “Tidak perlu (karena beragama) Islam, kita menghilangkan jati diri bangsa. Tidak perlu (karena kita beragama) Islam, kita menghilangkan identitas bangsa. Kita Islam dan kita Indonesia. Merdeka,” pekiknya. (Kendi Setiawan)