Nasional

Indonesia Sudah Sejak 1945 Membuat Konsep Daya Saing

Sab, 14 September 2019 | 01:15 WIB

Indonesia Sudah Sejak 1945 Membuat Konsep Daya Saing

Associate Researcher Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia (AWCPHUI) Haryo B. Rahmadi saat diskusi dengan tema Wirausaha sebagai Wiranegara: Konsep Daya Saing Berbasis Nilai Kebangsaan di Pojok Gus Dur, Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Jumat (13/9). (Foto: NU Online/Syakir NF)

Jakarta, NU Online
Kemampuan bersaing masyarakat Indonesia dan Indonesia sebagai suatu negara kerap masih di bawah daya saing negara-negara Barat. Padahal, konsep daya saing masyarakat Indonesia sudah ada sejak tahun 1945.

Hal itu disampaikan Associate Researcher Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia (AWCPHUI) Haryo B. Rahmadi saat diskusi dengan tema Wirausaha sebagai Wiranegara: Konsep Daya Saing Berbasis Nilai Kebangsaan di Pojok Gus Dur, Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Jumat (13/9).

Ia memaparkan, Wisesa Utama Bela Negara Dewan Pertahanan Nasional (Wantanas) menjelaskan bahwa jauh sebelum berbagai teori Barat tentang daya saing diungkapkan, Indonesia sudah mencetuskan hal yang sama jauh-jauh hari, tepatnya pada tahun 1945 melalui Pembukaan UUD 1945.

Haryo mengungkapkan, keamanan dalam hal ini bisa diartikan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, ekonomi berarti memajukan kesejahteraan umum, informasi berkaitan dengan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan jaringan atau pergaulan adalah bagian dari pelaksanaan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

“Saudara-saudara sekalian, tahun ’45 kita sudah memimpin (daya saing, red.) mereka semua (Barat, red.),” tegas Haryo.

Pembukaan UUD 1945 itu, menurutnya, tidak teracak-acak zaman. Sampai hari ini, hal tersebut masih relevan. Bangsa Indonesia, tidak boleh aman sendiri, tapi aman dan meangamankan, sejahtera dan mensejahterakan, dan seterusnya.

Namun, sayangnya, permasalahan bangsa Indonesia hari ini sibuk berkaca ke luar, tetapi lupa menggali ke dalam dirinya. Padahal, katanya, kekayaan itu adanya di dalam. “Daya saing adalah gabungan keahlian alami bangsa itu sendiri sambil dia melihat dinamika sekeliling lingkungan global,” pungkasnya.

Haryo menjelaskan empat variabel dalam dunia persaingan yang dikemukakan oleh Michael Porter tahun 1990-an.

Pertama, jaringan. Dalam pembuatan sedotan kecil, misalnya, ia mengungkapkan memerlukan banyak keahlian, seperti sosiologi dan antropologi mengingat pembuatannya di pabrik yang berada di tengah masyarakat, teknik mesin untuk membuat dan mengoperasikan mesin pembuatnya, otomotif untuk menyalurkannya, migas petrokimia mengingat bahannya dari polimer, dan sebagainya.
 
“Barang sekecil ini aja menghasilkan expertise begitu banyak,” ungkapnya.

Kedua, pengetahuan tentang pasar dan pengetahuan pasar tentang penjual. Ia menjelaskan bahwa jika ada orang berjualan kepada orang bodoh, penjual juga akan ikut bodoh karena tidak muncul kreativitasnya. Akibatnya tidak berkembang. Sebaliknya, jika konsumennya kritis, lama-lama dia inovatif.

Ketiga, keamanan berbisnis dan persaingan. Dalam persaingan, sering kali menjadi permusuhan bisnis. Kompetisi pun menjadi sangat personal. Bahkan tak jarang muncul kiriman-kiriman gaib. Bahkan yang bersifat kasat mata, seperti premanisme juga kerap kali muncul. Hal demikian membuat apapun yang buka di sampingnya ikut mati, hanya dia yang hidup dia aja. 

“Bagaimana bisnis itu bisa dilindungi, mengasah kemampuan ayo kita saling unggulkan hasil tanpa khawatir,” katanya.

Keempat, adalah sumber daya, meliputi sumber daya manusia maupun dana, dan sebagainya.

Haryo mengungkapkan bahwa teori Michael Porter itu bukanlah teori baru. Sebab, senada dengan hal itu, sudah pernah ada teori yang dicetuskan pada tahun 1960-an.

“Kalau kekuatan berbisnis tergantung empat itu, maka wiranegara bergantung pada DIME, yakni diplomacy, information, military, and economy,” ujarnya.

Diskusi ini dihadiri oleh berbagai kalangan, mulai akademisi, para perwira yang tergabung dalam Wantanas, hingga politisi yang duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Pewarta: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad