Nasional

Indonesia Butuh Dirjen Zakat dan Haji

NU Online  ·  Rabu, 10 Juli 2019 | 13:30 WIB

Jakarta, NU Online
Pemerintah sudah harus mempertimbangkan keberaadaan lembaga khusus untuk urusan zakat. Hal itu menjadi penting mengingat potensi keuangan tersebut kurang tergarap maksimal.

"Pemerintah sudah saatnya mempertimbangkan keberadaan lembaga khusus untuk mengelola dana zakat," ujar Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Ali Masykur Musa dalam diskusi yang dilaksanakan oleh Master C 19 di Jakarta, (10/7).

Sama seperti pengelolaan dana haji yang saat ini ditangani oleh BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) maka lembaga zakat itu, nantinya bisa diarahkan untuk menjadi salah satu motor penggerak ekonomi umat. 

"Bahkan jika perlu dibentuk menjadi satu kementerian tersendiri," katanya.  

Urgensi perlunya dibentuk lembaga yang akan mengelola dana umat tersebut, karena bisa menjadi salah satu sumber pendanaan pembangunan oleh pemerintah. Selain itu, jika dikelola oleh pemerintah, potensi keuangan yanh bisa digali akan jauh lebih besar daripada yang sudah terkumpul selama ini yang baru mencapai Rp 6 triliun/tahun. Sementara potensinya sendiri tidak kurang dari 217 trilun. Padahal dari total tersebut, semestinya bisa menjadi modal untuk menggerakkan eknomi syariah.

Berbicara dalam diskusi bertema Blueprint Ekonomi Syariah dalam Negara Kesejahteraan Pancasila di kawasan Menteng itu,  mantan Ketua Umum PMII ini menyebutkan adanya sejumlah kendala dalam pemanfaatan zakat sebagai motor penggerak ekonomi syariah di Indonesia, antara lain; 

Ekonomi syariah masih dianggap kurang seksi untuk menjadi daya tarik model kegiatan bisnis di Indonesia. Selain itu diversifikasi jenis usaha syariah di tanah air yang belum terlalu beragam.

"Ini membuat ekonomi syariah, khususnya yang berbasis dana zakat kurang berjalan sesuai harapan," lanjutnya.

Padahal jika pengelolaan dana zakat serta haji ditata dalam satu badan khusus, maka potensi itu bisa menjadi penggerak ekonomi umat. 


Pada bagian lain, jika dana zakat diselaraskan dengan pajak, maka potensi ekonomi yang terkandung jauh lebih besar dari data yang disebutkan sebelumnya. "Karena mengacu kepada PDB Indonesia secara kesuluruhan," tutupnya. (Red: Abdullah Alawi)