Nasional

Harapan Gus Nadirsyah Hosen di Harlah Ke-95 NU: Rapatkan Barisan dan Jaga Khittah

Ahad, 31 Januari 2021 | 13:15 WIB

Harapan Gus Nadirsyah Hosen di Harlah Ke-95 NU: Rapatkan Barisan dan Jaga Khittah

Rais Syuriyah PCINU Australia-New Zealand KH Nadirsyah Hosen (Gus Nadir) menyampaikan, pengurus dan warga NU harus merapatkan barisan dan bergandengan tangan untuk saling menjaga khittah sebagai modal awal memasuki abad kedua perjalanan NU. (Foto: dok istimewa)

Jakarta, NU Online
Nahdlatul Ulama (NU) telah berusia 95 tahun pada Ahad, 31 Januari 2021. Lima tahun lagi, dalam hitungan masehi, organisasi Islam terbesar di Indonesia ini akan memasuki usia seratus tahun dan memasuki abad kedua. 

 

Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia-New Zealand KH Nadirsyah Hosen (Gus Nadir) menyampaikan, pengurus dan warga NU harus merapatkan barisan dan bergandengan tangan untuk saling menjaga khittah sebagai modal awal memasuki abad kedua perjalanan NU. 

 

"Perpecahan atau silang pendapat dengan saling sikut hanya akan melemahkan kita. Di tubuh NU itu biasa kita berbeda pendapat dengan sehat. Karena itu mari kita memasuki abad kedua NU dengan persatuan dan kesatuan. Bukan dengan perpecahan," ungkapnya dalam acara peringatan Harlah ke-95 NU yang digelar secara virtual, pada Sabtu (30/1) malam.

 

Gus Nadir juga melakukan refleksi terhadap berbagai tantangan dan harapan jamiyah serta jamaah NU, ke depan. Salah satu refleksi yang dilakukannya adalah banyak kiai di lingkungan NU yang wafat sehingga itu menandakan bahwa dicabutnya ilmu dari Allah.

 

"Saya teringat hadits shahih riwayat Bukhori yang tercantum dalam Kitab Risalah Ahlussunnah wal Jamaah karya KH Hasyim Asy’ari. Disebutkan bahwa Allah tidak akan mencabut ilmu yang telah diberikan begitu saja. Tapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama," terangnya.

 

Wafatnya para ulama, kiai, masyayikh, dan bahkan habaib di lingkungan NU selama pandemi Covid-19 yang berdampak sangat luar biasa ini, kata Gus Nadir, harus dijadikan sebagai pengingat bagi pengurus dan warga NU.

 

"Begitu banyak para ulama, masyayikh, dan habaib yang telah Allah wafatkan dalam kuasa dan kasih sayang Allah. Kita jadi bertanya-tanya bagaimana nasib kita sebagai santri, ketika keilmuan dan keislaman sepeninggal para ulama di pengujung seratus tahun berdirinya NU ini," katanya.

 

"Apakah NU akan siap menghadapi abad kedua, ketika para kiai sepuh yang paham betul apa dan bagaimana NU ternyata sudah Allah wafatkan melalui wabah ini," ujar Gus Nadir, melakukan refleksi. 

 

Kitab kuning dan soliditas organisasi

Refleksi yang diutarakan Gus Nadir itu, sejalan dengan pesan yang telah disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj. Ia mengajak para generasi muda NU harus terus mampu melakukan kontekstualisasi ajaran para ulama terdahulu di dalam kitab kuning.

 

"Ayo kita harus mampu mengontekstualisasikan ajaran ulama kita di kitab kuning. Karena semua permasalahan dalam kehidupan, terutama yang berkaitan dengan prinsip syariat Islam sudah tersedia di dalam kitab kuning,” ujar Kiai Said.

 

"Tinggal kita harus mampu agar bagaimana, ajaran di kitab kuning itu muthabaqah li zaman wa munasabah lil waqi’, artinya kontekstual dan cocok dengan zaman sekarang," lanjut Kiai Said.

 

Oleh karena itu, ia mengajak santri di lingkungan NU untuk bangga menjadi bagian yang berasal dari pesantren. Di samping itu, harus bangga pula dengan kitab-kitab kuning yang dipelajari selama bertahun-tahun.

 

"Kita bangga dengan kiai-kiai yang selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jamaah. Mulai dari Safinatun Najah, Sulamul Munajat, Sulamuttaufiq, Fathul Qarib, Fathul Wahab, Mahalli, dan Iqna," terang Kiai Said.

 

"Kita bangga dengan Jawahirul Kalamiyah, Tijan Darori, Aqidatul Awwam, dan puncaknya kitab Fathul Majid. Kita bangga dengan Bidayatul Hidayah, Adabuddin, Minhajul Abidin, dan sampai ke Ihya Ulumiddin," lanjutnya.

 

Pengasuh Pesantren Luhur Al Tsaqafah, Ciganjur, Jakarta Selatan ini juga menyatakan bahwa santri harus berbangga dengan prinsip-prinsip yang diwarisi dari para ulama Aswaja. Terutama dari kalangan madzhab fikih Imam Syafi’i, madzhab teologi Imam Asy’ari, dan madzhab tasawuf Imam Al-Ghazali.

 

Tingkatkan soliditas organisasi

Kiai Said kemudian berpesan dan menekankan kepada pengurus NU di seluruh tingkatan seluruh Indonesia, agar mampu meningkatkan soliditas organisasi. Tak hanya itu, pengurus NU juga diminta untuk meningkatkan ketaatan.

 

"Ranting harus taat pada MWC, MWC harus taat pada Cabang, Cabang harus taat pada Wilayah, dan Wilayah harus taat pada PBNU. Itu kalau kita ingin menjadi organisasi yang sukses, maka harus disiplin dari tingkat PBNU sampai tingkat ranting, betul-betul punya komitmen, semangat ingin membangun soliditas agar betul-betul berwibawa," pesan Kiai Said.

 

Ia berharap, NU tidak ditertawakan oleh orang luar karena berjalan sendiri-sendiri. Oleh karenanya, seluruh pengurus NU diminta untuk menunjukkan bahwa organisasi yang didirikan para ulama ini solid. 

 

"Kita tunjukkan kita solid, tidak ada pertengkaran. Beda pendapat biasa tapi pertengkaran dan perpecahan, tidak ada. NU satu, di bawah pimpinan PBNU, di bawah pimpinan KH Miftachul Akhyar. Semua harus solid, tidak boleh ada yang jalan sendiri tanpa ada komando dari pimpinan pusat. Itulah yang saya maksud soliditas kita harus ditingkatkan," terang Kiai Said.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan