Nasional MUNAS KONBES NU 2023

Halaqah Netizen Nahdliyyin: Yang Lebih Penting dari Politik adalah Persaudaraan

Sel, 19 September 2023 | 20:00 WIB

Halaqah Netizen Nahdliyyin: Yang Lebih Penting dari Politik adalah Persaudaraan

Halaqah Netizen Nahdliyin di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, Selasa (19/8/2023). (Foto: NU Online/Malik)

Jakarta, NU Online

Halaqah Netizen Nahdliyin merupakan salah satu side event pada Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama 2023. Kegiatan yang mengangkat tema “Netizen NU Menghadapi Hajatan Pemilu 2024” ini berlangsung di Gedung Serbaguna 2 Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, Selasa (19/9/2023) siang.


Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Savic Ali mengingatkan bahwa menghadapi tahun politik harus santai dan perlu diingat bahwa persaudaraan jauh lebih penting dari politik.


“Sekarang saya kira kita harus lebih santai. Jadi, Kalau Gus Dur pernah ngomong yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan, saya ngomong lebih penting dari politik adalah persaudaraan,” ujarnya.


Ia menjelaskan bahwa perbedaan merupakan sebuah hal yang tidak bisa dihindari. Sebab, setiap orang berbeda pikirannya. Namun, hal yang harus dihindari adalah jangan sampai timbul keributan. 


Sementara itu, terkait politik, Savic mengungkapkan bahwa PBNU pada dasarnya tidak ikut pemilihan presiden. Sebab, mengutip pernyataan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, ia menegaskan bahwa pengusung presiden adalah partai, bukan jam'iyah organisasi masyarakat seperti NU.


“Ketua Umum berulang kali menyatakan bahwa PBNU pada dasarnya tidak ikut pilpres, yang ikut itu partai-partai, kandidat A silahkan saja, kandidat B silahkan saja. Orang pada akhirnya berdebat tetapi kita tidak bisa memaksa. Organisasi NU itu lebih besar dari partai. Orang NU itu hampir separuh Indonesia, mana ada partai yang separuh Indonesia. Maka tidak ada partai yang mendapat separuh suara Indonesia,” katanya.


“Kalau NU dikanalisasi, dipolitisasi berarti mengkerdilkan NU. Prinsip politik NU itu kemanusiaan, kerakyatan. Itu saya kira prinsip yang harus dihormati,” pungkasnya.


Halaqah ini juga dihadiri Habib Husein Ja’far Al-Hadar. Dalam kesempatan tersebut, ia mengungkapkan, meskipun pemilu berlangsung di tahun 2024, tetapi nyatanya tahun politik sudah dimulai tahun 2023.


“Keramaian tahun politik itu lebih besar di tahun 2023, karena praktis di tahun 2024 pekan kedua di Februari sudah pemilu. Jadi hanya satu bulan lebih sedikit dari 2024, itu yang menjadi tahun politik,” ujarnya.


Ia berharap bahwa di masa-masa demikian ini, dapat tercipta Iklim politik yang positif, kondusif, dan lainnya. Maka dari itu, ia menyampaikan politik kebangsaan merupakan jawaban.


Adapun tantangan di tahun politik, Habib Husein mengungkapkan bahwa tantangan yang dihadapi adalah politik identitas, meskipun tidak ketat seperti di tahun 2019. “Tantangan kita memastikan politik identitas tidak digunakan oleh capres siapapun, oleh siapapun. Siapapun tidak boleh memakai rumah kita untuk kepentingan politik,” pungkasnya.


Sementara itu, Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Amin Mudzakkir mengungkapkan bahwa selama ini kita punya ketakutan terhadap politik identitas, seolah-olah politik identitas menjadi ancaman. Amin mengungkapkan bahwa politik identitas menjadi problematik manakala dibarengi dengan politik uang.


“Politik identitas secara alamiah sahih. Namun dia menjadi problematik manakala dibarengi dengan politik uang. Ini yang harus diingat. Kita tidak bisa menghindari identitas,” ujarnya.


Baginya, identitas tidak hanya agama, tetapi juga gender. “Saya, sekarang terutama menghadapi tahun 2024, saya termasuk orang yang santai saja. Karena apa semakin dianggap sebagai suatu ancaman semakin masalah.”


“Lagipula sekarang perkembangan politik sejak tahun 2019 semakin kuat, hukum positif semakin bekerja. Cuman ada satu makhluk yang tidak bisa dikerangkeng, yaitu uang. Uang punya daya destruktif yang luar biasa. Perbincangan politik identitas di media sosial itu tidak terlepas dari konteks politik ekonomi pada masanya,” pungkasnya.


Kegiatan ini juga dihadiri Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari. Ia menjelaskan bahwa pemilu merupakan arena konflik yang sah untuk meraih kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan.


“Tidak ada mekanisme lain yang dianggap sah kecuali pemilu dan pilkada untuk meraih kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan. Kita sadar bahwa masyarakat kita multikultural pasti ada konflik di situ, maka yang harus dicegah adalah konflik yang muncul ke permukaan, yaitu kekerasan baik kekerasan fisik, maupun kekerasan dalam bentuk verbal,” ujarnya.